Motinggo Busye


Bustami Djalid, itulah nama asli yang diberikan Djalid Sutan dan Rabi’ah kepada Motinggo Busye ketika dia lahir pada 21 November 1937 di Kupangkota, Telukbetung, Lampung. 
Nama asli pemberian Rabi’ah Ja’akub, sang ibu, dengan jelas melantunkan idealisme yang tinggi dan religius. Nama Bustami diambil dari nama seorang filsuf muslim (sufi) pada masa kejayaan Granada-Andalusia. Ketika Rabi’ah mengandung, ia sempat mengagumi filsuf sufi itu. Tak heran pada saat melahirkan, nama Bustami dipakai pada anaknya sendiri.
Orang tua Motinggo berasal dari Sumatera Barat. Ibunya berasal dari Matur, sekitar tujuh kilometer sebelah timur Bukittinggi, sedangkan ayahnya, Djalid Sutan Raja Alam, berasal dari Sicincin (Pariaman), sekitar empat puluh kilometer dari kota Padang. Setelah menikah, pasangan Djalid Sutan-Rabi’ah merantau ke Lampung dan menetap di daerah Telukbetung. Ayah Motinggo bekerja sebagai klerk KPM di Kupangkota yang jaraknya tidak jauh dari kediaman mereka.
Seiring perkembangan zaman, Motinggo tumbuh dengan sehat dan hidup di lingkungan keluarga yang patuh pada ajaran agama (Islam). Semasa hidup, ibunda Motinggo mengajar agama dan bahasa Arab. Ketika usianya 12 tahun, orang tua Motinggo meninggal dunia, ayahnya meninggal pada 10 November 1948 dan ibunya pada 12 November 1948. Sepeninggal orang tuanya, Motinggo tinggal dan diasuh oleh neneknya yang bernama Aisjah di Bukittinggi.
Masa kecil Motinggo berbarengan dengan masa pendudukan Jepang di Indonesia. Kondisi perang yang tidak menentu memberikan efek yang luar biasa bagi kesejahteraan rakyat. Jangankan untuk sekolah, kebutuhan pokok seperti makan saja tidak terpenuhi dengan baik. Oleh sebab itu, hampir sebagian besar teman-teman sebaya Motinggo tidak bersekolah. Hal lain yang menyebabkan berkurangnya kesempatan belajar di sekolah formal dikarenakan hanya anak-anak yang orang tuanya mempunyai kedudukan dalam pemeritahan dan keturunan bangsawan saja yang dapat bersekolah. Motinggo termasuk anak yang beruntung. Dia adalah cucu Kepala Negeri Matur yang bernama Idris Datuk Sakti, terkenal di Minangkabau sebagai menantu Sentot Alibasyah Prawirodirdjo (tokoh terkenal dalam perang Diponegoro) sehingga dia mendapatkan kesempatan bersekolah di Sekolah Rakyat (SR).
Pada saat pendaftaran di sekolah tersebut, Motinggo terbentur satu masalah. Dia tidak lulus tes model sekolah dulu. Dahulu, apabila seorang anak sudah dapat memegang telinga dengan tangan melingkar melewati kepala, berarti anak tersebut sudah pantas masuk sekolah. Sayangnya, tangan Motinggo belum bisa menggapai telinga. Agar dia pantas belajar di sekolah tersebut, ayahnya memanipulasi tahun kelahiran Motinggo setahun lebih tua (1936) dari catatan ibunya di sebuah buku ketika dia lahir (1937). Berkenaan dengan tahun kelahirannya itu, Motinggo Busye berkomentar bahwa dia lebih senang menggunakan tahun yang bershio tikus (1937). Dia mengganggap bahwa shio tikus itu bisa membawa keberuntungan.
Selain keberuntungan, Motinggo kecil juga pernah mendapat kesialan. Ketika itu, ada seorang perwira Jepang, bernama Yamashita, datang berkunjung ke rumah orang tuanya. Melihat Motinggo sedang asyik dengan mainannya, perwira itu menjahili Motinggo dengan menaiki sepeda roda tiga kepunyaannya. Ternyata, sepeda itu tidak kuat menahan beban tubuh Yamashita. Sepeda itu patah. Melihat mainan kesayangannya rusak, Motinggo menangis sekuatnya. Hari berikutnya Yamashita kembali untuk mengganti mainan Motinggo yang dirusaknya. Akan tetapi, bukan sepeda roda tiga yang dibawa Yamashita sebagai ganti melainkan sebuah mesin ketik. Kesialan Motinggo itu ternyata berbuah manis. Yamashita tidak akan pernah menyangka jika akhirnya mesin ketik peninggalannya akan menjadi teman setia Motinggo Busye, tempat mencurahkan ide-ide.
Peristiwa “sepeda patah” itu menjadi salah satu peristiwa penting yang memengaruhi bakat kepengarangan Motinggo. Peristiwa lain yang juga menjadi penyulut bakatnya dalam hal tulis-menulis karya sastra ketika dia memperoleh buku-buku terbitan Balai Pustaka dari sebuah bus perpustakaan yang terparkir di depan rumah orang tuanya pada Maret 1942. Bus perpustakaan yang ditinggal lari oleh para petugasnya karena takut menjadi korban serangan balatentara Jepang itu menjadi bulan-bulanan warga sekitar. Mereka menjarah peralatan bus untuk digadaikan atau ditukarkan dengan uang. Tak mau kalah, ayah Motinggo juga ikut ambil bagian dalam peristiwa penjarahan itu. Tidak seperti penduduk lainnya, ayah Motinggo hanya mengamankan buku-buku yang ada di dalam bus. Buku-buku hasil jarahan ayahnya yang beratus-ratus judul itu habis dilahap Motinggo selama 7 tahun, dari tahun 1942—1949. Tak ayal lagi, semua buku terbitan Balai Pustaka sebelum perang, mulai dari bacaan anak sampai bacaan orang dewasa, pernah dibacanya (Ismail, 1999:16).
Nama samaran yang dikenal khalayak sebagai nama pengarang yang masyhur, Motinggo, berasal dari bahasa Minang mantiko, maknanya campuran antara sifat bengal, eksentrik, suka menggaduh, ada kocaknya, dan tak tahu malu. Motinggo menjelaskan bahwa dia adalah Mantiko Bungo, mantiko yang seperti bunga bukan mantiko yang berkonotasi jelek, dan jika mantiko bungo disingkat menjadi MB sama dengan singkatan nama samarannya, Motinggo Busye. Secara lengkap nama samarannya dalam ejaan lama adalah Veda Motinggo Boesje, tapi belakangan Veda itu tidak dipakainya lagi (Ismail, 1999:16). Selain nama pemberian orang tua dan nama pena, Motinggo juga mempunyai nama adat yang disandangnya setelah dia memasuki usia dewasa, yaitu Saidi Maharajo.
Motinggo Busye mulai meramaikan jagad sastra Indonesia ditandai dengan puisinya Malam Putih yang dimuat dalam Siasat Tahun VIII Nomor 378/26, tahun 1953. Sebenarnya, Puisi yang dimuat oleh majalah sastra tersebut bukanlah karya pertama yang dibuat Motinggo. Ketika Motinggo duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP II Ateh Ngarai), karyanya sudah disetujui oleh HB Jassin untuk dimuat di Mimbar Indonesia, sehingga tidak salah jika Taufiq Ismail menjuluki Motinggo sebagai anak ajaib di pentas sastra Indonesia, sebanding dengan Ajip Rosidi yang juga mulai menulis sejak umur sedini itu (1999:15).
Pada usia remaja, Motinggo sudah menunjukkan bakatnya dalam bermain drama dan sutradara. Hal itu dibuktikannya melalui kemampuannya mengisi sandiwara di radio. Drama radio yang disiarkan oleh RRI Bukittinggi itu berjudul ”Tom dan Desy”. Selain itu, Motinggo juga senang melukis. Pemandangan jurang alam di kampung halamannya yang indah, Sumatera Barat, memberikan inspirasi bagi Motinggo untuk mencintai dunia seni lukis. Kecintaannya pada lukis-melukis ini diasahnya dengan berguru kepada dua pelukis terkenal, Wakidi dan Djufri Sjarif.
Kepiawaiannya dalam bidang seni lukis pernah di pamerkan bersama tiga belas pelukis dan dua pematung senior di Padang pada tahun 1954. Pada pameran itu, Motinggo menampilkan lima belas lukisan, sepuluh menggunakan cat minyak dan lima menggunakan cat air. Tiga lukisan Motinggo, “Rakata di Senjakala”, “Rindu Pahlawan pada Kekasih”, dan “Diri yang Terasing”, mengingatkan A.A. Navis pada warna-warna Vincent van Gogh. Pameran lukisan Motinggo dan beberapa seniman itu menjadi tonggak penting dalam sejarah seni lukis di Sumatera Barat (Ismail, 1999:17). Hobi Motinggo yang belakangan disukainya adalah keramik. Dia senang mengabadikan tulisan tangan dan potret para sastrawan dalam karya-karya keramiknya.
Setelah lulus SMP, Motinggo melanjutkan sekolah ke SMA Negeri Birugo, dulu lebih dikenal dengan sebutan Sekolah Radja. Sekolah ini termasuk salah satu SMA tertua di Indonesia yang dibangun oleh pemerintahan Belanda pada tahun 1873, ketika itu bernama Kweekschool. Pada zaman Belanda, Kweekschool telah menamatkan guru, pemuka masyarakat, birokrat, ilmuwan dan sastrawan. Sastrawan yang pernah menjadi pelajar dan juga pernah menjadi pengajar di Kweekschool adalah Selasih. Seperti sudah turun-temurun, silih berganti sastrawan lahir di sekolah itu. Di SMA Birugo, Motinggo diajarkan bahasa dan sastra oleh Dt. Nurdin Jakub, waktu itu sudah dikenal masyarakat sebagai penulis cerpen. Seperti pepatah “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, Motinggo tak mau kalah dari gurunya itu. Mereka bersaing mengirimkan hasil karya sastranya ke Jakarta. Selain Motinggo, Suwardi Idris dan AB Dahlan (sekarang menjadi penulis cerita pendek) serta Alwi Dahlan (pernah menjadi Menteri Penerangan), murid dari sekolah yang sama, juga giat mengirimkan karya-karya mereka ke Mimbar Indonesia dan Kisah asuhan HB Jassin. Bisa dibayangkan betapa asyiknya suasana pengajaran sastra di SMA Negeri Birugo pada waktu itu. Meskipun senang menulis, Motinggo tidak pernah mendapatkan nilai bagus untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia. Ketika ditanya masalah itu, Motinggo menjelaskan bahwa dia tidak suka berbahasa baik dan benar, yang terpenting jago menulis puisi dan cerpen (Ismail, 1999:15).
Setamat dari SMA Birugo, Motinggo sempat kebingungan untuk memilih perguruan tinggi karena dua universitas negeri terkemuka di Indonesia (Universitas Indonesia dan Gadjah Mada) menyediakan satu tempat untuk dirinya. Belum lagi tawaran KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) untuk ke Perancis. Selain itu, Motinggo juga berkeinginan untuk menjadi komposer. Akhirnya, Fakultas Hukum jurusan Tata Negara, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dijadikan alternatif bagi Motinggo untuk melanjutkan studinya. Sayangnya, dia tidak menamatkan studinya itu karena terlalu asyik melibatkan diri dengan para sastrawan dan mengikuti kegitan teater bersama Kidjomuljo, Nasjah Djamin, Subagio Sastrowardoyo, dan Rendra. Padahal, masa kuliah Motinggo sudah setaraf dengan sarjana muda.
Di tengah keasyikannya dengan berbagai kegiatan seni di Yogyakarta, Motinggo bertemu dengan teman SMA-nya, Taufik Abdullah. Selain untuk temu kangen, pertemuannya dengan Taufik juga memberikan Motinggo sedikit pencerahan. Taufik memberinya trilogi James T. Farrel berjudul Studs Lonnigan dengan harapan Motinggo bisa meniru totalitas Farrel dalam berkarya, bukan hanya menulis cerita yang pendek-pendek melainkan trilogi sekaligus. Trilogi novel Bibi Marsiti, Jantuni, dan Nyonya Marjono menjadi saksi ketidaksia-siaan Taufik menyemangati Motinggo. Tidak hanya trilogi itu, Motinggo juga menulis lebih dari 200 karya sepanjang hidupnya yang sampai saat ini masih tersimpan rapi di Perpustakaan Kongres di Washington D.C., Koleksi karya-karya Motinggo di perpustakaan itu mungkin lebih lengkap dibandingkan perpustakaan di Indonesia.
Suasana Yogya yang riuh dengan seniman-seniman dari berbagai macam bidang seni memberikan kontribusi yang tidak sedikit bagi Motinggo. Di Kota Gudeg ini, kegemaran Motinggo mulai dari sastra (cerpen, puisi, novel), jurnalistik, teater sampai seni lukis semakin terasah dengan baik. Kegigihan Motinggo di tengah pergumulannya dengan sastrawan dan seniman Yogya membuahkan beberapa karya yang tangguh, salah satunya ”Malam Jahanam” yang terpilih sebagai karya terbaik dalam lomba Sayembara Penulisan Drama Kementrian P.P. dan K. (Kementrian Pendidikan Pengajar¬an dan Kebudayaan) pada tahun 1959. ”Malam Jahanam” kemudian secara berturut-turut dimuat dalam majalah Budaya nomor 3, 4, 5, tahun ke-VII, 1959. Konon, drama ringkas itu masih dipakai sebagai naskah wajib untuk latihan di berbagai kelompok dan sekolah teater di Indonesia hingga saat ini (Budianta, 1999:10). Karyanya ini juga pernah dipentaskan di Universitas Pasadena, Amerika Serikat. Beberapa tahun kemudian, Motinggo memenangkan hadiah majalah Sastra tahun 1962 un¬tuk cer¬pennya “Nasehat untuk Anakku” dan karyanya yang berjudul Malam Pengantin di Bukit Kera diterjemahkan ke dalam bahasa Chekoslovakia. Selain dialihbahasakan ke dalam bahasa Chekoslovakia, karya-karyanya juga pernah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, Korea, Cina, dan Jepang. Sebagai penyair, karya-karyanya masuk dalam antologi penyair Asia (1986) dan antologi penyair dunia (1990).
Jiwa kepengarangan Motinggo dipengaruhi oleh beberapa sastrawan dalam dan luar negeri. Seperti ketika menulis cerita pendek, Motinggo terpengaruh teknik yang digunakan oleh Maupassant. Anton P. Chekov, sastrawan Rusia, secara tidak langsung memengaruhi Motinggo dalam menampilkan watak tokoh cerita. Dalam menuliskan gaya dan dialog, Motinggo mengagumi gaya sastrawan Ernest Hemingway yang dinilai naturalis. Motinggo juga mengagumi John Steinback, seorang novelet. Pramoedya Ananta Toer merupakan sastrawan Indonesia yang menjadi idolanya. Selain sastrawan, Motinggo juga kagum kepada seorang filsuf wanita Ralph Waldo Emerson. Karyanya yang dipengaruhi oleh filsuf wanita tersebut, antara lain Sanu: Infita Kembar (novel, 1984) dan “Mata Pelajaran Sanu, Sang Guru” (puisi, 1990).
Pada 26 Juli 1962, Motinggo menikah dengan Lashmi Bachtiar di Yogyakarta dan dikaruniai empat orang anak laki-laki (Ito, Rio, Soni dan Raf). Setelah menikah dengan Lashmi, Motinggo merantau ke Jakarta dan bekerja sebagai wartawan majalah Aneka, media massa bidang olahraga dan film. Enam bulan kerja di majalah tersebut, dia diangkat menjadi redaktur. Setelah pindah ke Jakarta, Motinggo tidak lagi menulis naskah drama. Perpindahannya ke Jakarta juga membuat perubahan pada gaya dan pandangan hidup¬nya. Pe¬ngaruh kehidupan metropolitan secara drastis mengubah pandang¬an hidup Motinggo Busye dari idealisme ke hedonisme, demikian komentar banyak kritikus sastra mengamati perkem¬bang¬an kepengarangan Motinggo Busye. Hal itu juga berpengaruh pada gaya dan pandangannya tentang karya sastra. Karya-karyanya lebih banyak mengungkap tema-tema porno, tersirat atau pun vulgar. “Saya saat itu lebih cenderung mengangkat seks, karena novel seperti itu justru yang banyak diminati. Dan tiap orang kan sebenarnya interes.” ujarnya (Harian Terbit, 17 September 1994).
Kisaran tahun 1984—1999, Motinggo mengubah haluan dan pandangan hidup kepengarannya. Setidaknya, ada dua sebab yang membuat perubahan haluan dan pandangan hidup kepengarangan Motinggo. Pertama, se¬telah dirasakan lesunya dunia perfilman nasional pada awal ta¬hun 1980-an—sebelumnya Motinggo Busye terjun pula ke dunia film dengan menjadi sutradara, antara lain dalam film Cintaku Jauh di Pulau (mengambil judul film dari sajak karya Chairil An¬war, “Cintaku Jauh di Pulau”) dengan bintang filmnya seorang penyair Angkatan 66, yaitu Mansur Samin Siregar, dan Putri Se¬orang Jenderal—itu mengubah kesadarannya untuk kembali menu¬lis novel serius.
Kedua, kritik anaknya yang disekolahkan oleh Motinggo di Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, yang selalu mengingatkannya untuk tidak membuat karya sastra atau film yang lebih banyak menonjolkan seksualitas. Oleh anaknya, masalah seksualitas atau pornografi itu dapat meracuni generasi muda bangsa. Apa jadinya negara dan bangsa ini di kemudian hari kalau generasai muda yang penuh cita-cita ini hanya disuguhi bacaan seksualitas dan pornografi? Kesadaran Motinggo Busye itulah membuat novel Sanu Infinita Kembar (sisipan majalah Horison 1984 dan kemudian diterbitkan oleh Gunung Agung, 1985). Novel tersebut bagaikan penanda perubahan pandangan Motinggo dari hal-hal yang berbau seksualitas dan pornografi ke hal-hal yang bersifat religius, serius, transendental, pengembaraan intelektual imaji¬natif, serta absurditas.
Tak hanya perubahan pandangan yang dicapai Motinggo, prestasi karya tulisnya dalam karang-menga¬rang sastra di kemudian hari membuahkan hasil yang gilang-gemilang seperti: (1) kemenangan Motinggo yang mendapatkan hadiah ke-4 “Sayembara Penulisan Cerpen Majalah Horison 1997" dengan cer¬pennya “Bangku Batu”, (2) kategori 10 cerpen terbaik 1990–2000 versi majalah sastra Horison 2000, dengan cerpennya “Lonceng”, dan (3) cerpen terbaik Kompas 1999, dengan cerpennya “Dua Tengkorak Kepala”.
Dalam karya-karyanya, Motinggo Busye merepresen¬tasikan permasalahan dasar kehidupan manusia. Masalah dasar kehidupan itu menjadi menarik karena disampaikan dengan gaya khas Motinggo, yaitu sindiran atau ironi, dan juga dengan simbol-simbol atau perlambang-perlambang yang akrab dengan kehidupan manusia di sekelilingnya.
Pada Juni 1994, Motinggo pergi menunaikan ibadah haji bersama istri dan beberapa teman sastrawannya, di antaranya A.A. Navis, Azwan Hamir, Chairul Umam, Taufiq dan Ati Ismail. Keberangkatannya mereka ke Tanah Suci disponsori oleh Menteri Agama waktu itu, Tarmizi Taher. Perjalanan haji mereka merupakan pencerahan batin yang luar biasa bagi Motinggo. Rasa syukur dan terima kasih atas usaha sahabat-sahabatnya tersebut dituangkan melalui karyanya yang berjudul Purnama di Atas Masjidil Haram. Akhirnya, Motinggo kembali ke jalan hidup yang diajarkan oleh kedua orang tuanya ketiga dia masih kecil, menjadi muslim yang taat, sampai dia tutup usia pada tanggal 18 Juni 1999 di Jakarta.
Banyak sastrawan dan kritikus yang berkomentar tentang dirinya. Seperti Sutardji Calzoum Bachri, Presiden Penyair Indonesia, mengatakan bahwa Motinggo Busye sebagai sastrawan boleh disebut sebagai Master of Style. Motinggo Busye memang sastrawan penting. Prinsip Life is Beautiful menjadikan Motinggo lebih bersemangat dalam berkarya. “Komitmennya ini memunculkan kekaguman dari seniman lain” ujar Si Burung Merak, WS Rendra. Budianta berkomentar bahwa perjalanan hidup Motinggo yang dinamis, adanya anggapan tuntutan untuk bersikap konsisten sebagai musuh nomor satu yang harus dijauhi, merupakan salah satu saran Ralph Waldo Emerson (filsuf kesayangannya) agar manusia mengikuti perkembangan jiwa yang dinamis dan siap berubah atau mengontradiksi dirinya dari waktu ke waktu. Kedinamisan Motinggo itu juga dikometari oleh kritikus sastra Indonesia kenamaan dari negeri Belanda, Prof. Dr. Andreas Teeuw. Dia mengakui bakat sastra, seni, dan potensi artristik kepenga¬rangan Motinggo Busye sebagai sastrawan yang tekun meniti karir sepanjang hidupnya. Namun, dalam sejarah kepengarangan¬nya itu Motinggo Busye pernah mengalami jatuh bangun untuk tetap setia menggeluti bidang kesenian dan karya tulis-menulis.
Karya-karya Motinggo Busye sangat banyak, berikut ini beberapa di antaranya.

1. Puisi
(1) “Malam Putih”, Siasat Tahun VIII Nomor 378, Tahun-7, 1953:26.
(2) “Ibu” Budaya Nomor 4-5 Tahun ke-4, 1955:220.
(3) “La Lune et La Croix” Majalah Nasional Nomor 5 Tahun ke-6, 1955:19.
(4) “Tuhan” Waktu Nomor 25 Tahun ke-9, 1955.
(5) “Dengan Malam” Waktu Nomor 41 Tahun ke-11, 1957:22.
(6) “Jalan Rata ke Pegunungan” Budaya Nomor 3-4 Tahun ke-6, 1957:174.
(7) “Kota kami Dahulu” Budaya Nomor 3-4 Tahun ke-6, 1957:173.
(8) “Ulang Tahun” Budaya Nomor 3 Tahun ke-7, 1958:128.
(9) “Kepada Potret Abadi” Budaya Nomor 8 Tahun ke-8, 1959:284.
(10) ”Majenun, Majenun” Budaya Nomor 8 Tahun ke-8, 1959:286.
(11) Aura Para Aulia. Jakarta: M. Sonata. 1990.
(12) “Merasuk Malam” Horison Nomor 9 September 1999.

2. Prosa
(1) “Berantas” Waktu Nomor 29 Tahun ke-8, 1954:32--36.
(2) “Bunian” Majalah Nasional Nomor 37 Tahun ke-5, 1954:20--22.
(3) “Fonnie” Majalah Nasional Nomor 2 Tahun ke-5, 1954:18--19.
(4) “Jejak Sepatu Gerilya” Waktu Nomor 11 Tahun ke-8, 1954:32--35.
(5) “Mencari Kesudahan” Majalah Nasional Nomor 26 Tahun ke-5, 1954:20--22.
(6) “Pengakuan” Majalah Nasional Nomor 41 Tahun ke-5, 1954:20--22.
(7) “Danau” Waktu Nomor 45 Tahun ke-9, 1955:34--36.
(8) “Serenade” Majalah Nasional Nomor 1,2 Tahun ke-6, 1955:23--25.
(9) “Kubur dan Negeri Jauh” Roman Nomor 3 Tahun ke-4, 1957: 24--25, 28.
(10) “Kuburan” Aneka Nomor 7 Tahun ke-9, 1958:12--13.
(11) “Luka Hati Manusia” Minggu Pagi Nomor 43 Tahun ke-10, 1958:22--24.
(12) “Simponi dari Satu Nyawa” Star Weekly Nomor 677, Tahun ke-13, 1958:13--14.

3. Cerita Pendek
(1) Keberanian Manusia. (kumpulan cerpen) Jakarta: Nusan¬tara. 1962.
(2) Nasihat untuk Anakku. (kumpulan cerpen) Jakarta: Mega¬bookstore. 1963.
(3) “Bangku Batu” Pemenang ke-4 Sayembara Horison. Horison Nomor 9 Tahun XXXI, September 1997.
(4) “Lonceng” Horison Nomor 9 Tahun XXXIV, September 1999.
(5) Dua Tengkorak Kepala. (kumpulan cerita pendek, cerpen terbaik Kompas 2000). Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. 1999.
4. Novel
(1) Tidak Menyerah. Jakarta: Nusantara. 1962.
(2) Bibi Marsiti. Jakarta: Lokajaya. 1968.
(3) Cross Mama. Jakarta: Lokajaya. 1968.
(4) Jeng Mini. Jakarta: Lokajaya. 1969.
(5) Lucy Mei Ling. Jakarta: Lokajaya. 1977.
(6) Sanu Infinita Kembar. Jakarta: Gunung Agung. 1985.
(7) Madu Prahara. Jakarta: PN Balai Pustaka. 1985.
(8) Dosa Kita Semua. Jakarta: PN Balai Pustaka. 1986.

5. Drama
(1) “Malam Jahanam” Budaya Nomor 3--5 Tahun ke-8, 1959:91--112.
(2) Malam Pengantin di Bukit Kera. Jakarta: Mega¬bookstore. 1963.
(3) Nyonya dan Nyonya. Jakarta: Megabookstore. 1963.

6. Kritik Esai
(1) “Hasil Seni Modern” Sastra nomor 2 Februari 1962.
(2) “Sebagai Pengarang… Bersedia Pikul Kritik” Mingguan Srikandi, 1969.
(3) “Tema-Tema yang Saya Pilih” Srikandi, 7 September 1969.
(4) “Film ‘Jane Eyre‘ dan ‘Charlotte Bronte‘, Sinar Harapan, 5 April 1973.

7. Pembicaraan Karya-Karyanya
(1) Sjamsoeir Arfie, “Sebenarnya Bersama Boesje”, Indonesia Raya, 9 Agustus 1972.
(2) H.B. Jassin, “Bibi Marsiti, Sebuah Roman Trilogi Motinggo Boesje”, Horison, Juni 1968.
(3) H.B. Jassin, “Matahari dalam Kelam, Kumpulan Tjerita Pendek Motinggo Boesje: Suatu Sorotan”, Sastra, Agustus 1968.
(4) Mansur Samin, “Apakah Motinggo Boesje Pengarang Cabul”, Yudha Minggu, 7 Desember 1969.
(6) Sf, “Motinggo Boesje Bitjara tentang Tema jang Dipilihna”, Harian Kami, 10 November 1969.
8. Legenda
(1) Buang Tonjam. Jakarta: Megabookstore. 1963.
(2) Ahum-Ha. Jakarta: Megabookstore. 1963.

9. Film
(1) Biarkan Musim Berganti (1971)
(2) Cintaku Jauh di Pulau (1972)
(3) Takkan Kulepaskan (1973)

Share this article :
 

linkwithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. DUDU DEWO - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger