Wukir Rahtawu merupakan gugus perbukitan Muria
yang berada di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Menurut mitos, Wukir Rahtawu merupakan tempat pertapaan
Resi Manumayasa sampai
kepada Begawan Abiyasa yang merupakan
leluhur Pandawa dan Korawa. Menurut cerita babad dan parwa, konon leluhur raja - raja
Jawa merupakan
keturunan dinasti Bharata juga.
Sebuah misteri
yang membingungkan, memang. Di Rahtawu terdapat banyak " petilasan
pertapaan " yang diyakini dahulu kala memang benar - benar
merupakan tempat
bertapanya " para suci "
yang oleh penduduk setempat disebut " Eyang ".
Diantaranya : Eyang
Sakri ( Bathara
Sakri ) di Desa Rahtawu, Eyang Pikulun Narada dan Bathara Guru, di Joggring Salaka, dukuh Semliro, desa Rahtawu. Eyang Abiyasa dan Eyang Palasara, di puncak gunung " Abiyasa ",
ada yang menyebut " Sapta
Arga ". Eyang Manik Manumayasa, Eyang Puntadewa, Eyang Nakula Sadewa di lereng gunung " Sangalikur ",
di puncaknya tempat
pertapaan Eyang Sang Hyang Wenang ( Wening ) dan sedikit ke bawah pertapaan Eyang Ismaya. Eyang Sakutrem ( Satrukem ) di
sendang di kaki gunung "Sangalikur" sebelah timur. Eyang Lokajaya ( Guru Spirituil Kejawen Sunan Kalijaga, menurut dongeng Lokajaya nama samaran Sunan Kalijaga sebelum bertaubat ), di
Rahtawu. Eyang
Mada ( Gajah Mada ) dan
Eyang ( Romo )
Suprapto, berupa
makam di dusun Semliro. Semua " petilasan "
( kecuali makam Eyang Mada )
merupakan " batu datar "
yang diperkirakan sebagai tempat duduk ketika bertapa ( meditasi, semadi ).
Sayangnya, semua petilasan
tersebut telah dibuatkan bangunan dan dibuat sedemikian rupa " sakral "
dengan diberi bilik yang tertutup dan dikunci. Pembukaan tutup dilakukan setiap bulan Suro ( Muharam ) tanggal 1 s/d 10. Di setiap petilasan dibuatkan suatu bilik khusus untuk melakukan " ritual sesaji " dengan bunga dan pembakaran dupa. Juga disediakan suatu ruangan cukup luas untuk para pengunjung beristirahat dan menunggu giliran untuk melakukan " ritual sesaji " maupun " ngalap
berkah " sambil
tiduran dan kerokan. Di Rahtawu pengaruh peradaban Hindu, Buddha dan Islam tidak nampak jelas. Tidak ada jejak berupa bangunan peribadatan ( candi ) Hindu dan Buddha. Bahkan tidak ada arca maupun ornamen bangunan yang terbuat dari batu berukir sebagaimana ditemukan di Dieng,Trowulan, Lawu, dan tempat-tempat lainnya di Jawa. Bangunan peribadatan berupa masjid
ataupun langgar ( mushalla ) merupakan bangunan baru buatan jaman ini.Maka sesungguhnya mengundang suatu pemikiran, situs peradaban apakah di Rahtawu tersebut? Meskipun semua " petilasan pertapaan " berkaitan dengan nama-nama tokoh pewayangan (Mahabharata-Hindu), namun di Rahtawu ditabukan untuk mengadakan pagelaran wayang.
( bersambung )