TEORI
SEMIOTIK
Sistem Tanda (Semiotik)
Semiotik (semiotic) adalah teori tentang
pemberian ‘tanda’. Secara garis besar semiotik digolongkan menjadi tiga konsep
dasar, yaitu semiotik pragmatik (semiotic pragmatic), semiotik sintatik
(semiotic syntactic), dan semiotik semantik (semiotic semantic)
(Wikipedia,2007).
Semiotik Pragmatik (semiotic pragmatic)
Semiotik Pragmatik menguraikan tentang asal
usul tanda, kegunaan tanda oleh yang menerapkannya, dan efek tanda bagi yang
menginterpretasikan, dalam batas perilaku subyek. Dalam arsitektur, semiotik
prakmatik merupakan tinjauan tentang pengaruh arsitektur (sebagai sistem tanda)
terhadap manusia dalam menggunakan bangunan. Semiotik Prakmatik Arsitektur
berpengaruh terhadap indera manusia dan perasaan pribadi (kesinambungan, posisi
tubuh, otot dan persendian). Hasil karya arsitektur akan dimaknai sebagai suatu
hasil persepsi oleh pengamatnya, hasil persepsi tersebut kemudian dapat
mempengaruhi pengamat sebagai pemakai dalam menggunakan hasil karya arsitektur.
Dengan kata lain, hasil karya arsitektur merupakan wujud yang dapat
mempengaruhi pemakainya.
Semiotik Sintaktik (semiotic syntactic)
Semiotik Sintaktik menguraikan tentang
kombinasi tanda tanpa memperhatikan ‘makna’nya ataupun hubungannya terhadap
perilaku subyek. Semiotik Sintaktik ini mengabaikan pengaruh akibat bagi subyek
yang menginterpretasikan. Dalam arsitektur, semiotik sintaktik merupakan
tinjauan tentang perwujudan arsitektur sebagai paduan dan kombinasi dari
berbagai sistem tanda. Hasil karya arsitektur akan dapat diuraikan secara komposisional
dan ke dalam bagian-bagiannya, hubungan antar bagian dalam keseluruhan akan
dapat diuraikan secara jelas.
Semiotik Semantik (semiotic semantic)
Semiotik Sematik menguraikan tentang
pengertian suatu tanda sesuai dengan ‘arti’ yang disampaikan. Dalam arsitektur
semiotik semantik merupakan tinjauan tentang sistem tanda yang dapat sesuai
dengan arti yang disampaikan. Hasil karya arsitektur merupakan perwujudan makna
yang ingin disampaikan oleh perancangnya yang disampaikan melalui ekspresi
wujudnya. Wujud tersebut akan dimaknai kembali sebagai suatu hasil persepsi
oleh pengamatnya. Perwujudan makna suatu rancangan dapat dikatakan berhasil
jika makna atau ‘arti’ yang ingin disampaikan oleh perancang melalui
rancangannya dapat dipahami dan diterima secara tepat oleh pengamatnya, jika
ekspresi yang ingin disampaikan perancangnya sama dengan persepsi pengamatnya.
TEORI SEMIOTIK
TEORI SEMIOTIK
C.S Peirce
Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau
triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign),
object, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat
ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan)
hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol
(tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan
fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan
acuan tanda ini disebut objek.Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang
menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda.
Interpretant atau pengguna tanda adalah
konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu
makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang
dirujuk sebuah tanda.Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana
makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat
berkomunikasi.
Contoh: Saat seorang gadis mengenakan rok mini, maka gadis itu sedang
mengomunikasi mengenai dirinya kepada orang lain yang bisa jadi memaknainya
sebagai simbol keseksian. Begitu pula ketika Nadia Saphira muncul di film
Coklat Strowberi dengan akting dan penampilan fisiknya yang memikat, para
penonton bisa saja memaknainya sebagai icon wanita muda cantik dan
menggairahkan.
Ferdinand De Saussure
Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand
De Saussure (1857-1913). Dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian
(dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat
sebagai bentuk/wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur, sedang
pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau
nilai-nlai yang terkandung didalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika
Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa
disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang
mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau
konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda
tersebut.
Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified.
Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified.
Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna
tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek
bagi Saussure disebut “referent”. Hampir serupa dengan Peirce yang
mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya
Saussure memaknai “objek” sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur
tambahan dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang menyebut kata “anjing”
(signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan
(signified). Begitulah, menurut Saussure, “Signifier dan signified merupakan
kesatuan, tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.” (Sobur,
2006).
Roland Barthes
Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes
(1915-1980), dalam teorinya tersebut Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2
tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah
tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas,
menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat
pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya
beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (Yusita
Kusumarini,2006).
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada
cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan
makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja
menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi
antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi
antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh
penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”,
mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda
yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan
Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah
signifier-signified yang diusung Saussure.
Barthes juga melihat aspek lain dari
penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes
terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem
sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang
kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu
tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi,
maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.
Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi
“keramat” karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi “keramat”
ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon
beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah
konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap
ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.
Baudrillard
Baudrillard memperkenalkan teori simulasi. Di mana peristiwa yang tampil tidak mempunyai asal-usul yang jelas, tidak merujuk pada realitas yang sudah ada, tidak mempunyai sumber otoritas yang diketahui. Konsekuensinya, kata Baudrillard, kita hidup dalam apa yang disebutnya hiperrealitas (hyper-reality). Segala sesuatu merupakan tiruan, tepatnya tiruan dari tiruan, dan yang palsu tampaknya lebih nyata dari kenyataannya (Sobur, 2006).
Baudrillard memperkenalkan teori simulasi. Di mana peristiwa yang tampil tidak mempunyai asal-usul yang jelas, tidak merujuk pada realitas yang sudah ada, tidak mempunyai sumber otoritas yang diketahui. Konsekuensinya, kata Baudrillard, kita hidup dalam apa yang disebutnya hiperrealitas (hyper-reality). Segala sesuatu merupakan tiruan, tepatnya tiruan dari tiruan, dan yang palsu tampaknya lebih nyata dari kenyataannya (Sobur, 2006).
Sebuah iklan menampilkan seorang pria lemah yang kemudian menenggak sebutir
pil multivitamin, seketika pria tersebut memiliki energi yang luar biasa, mampu
mengerek sebuah truk, tentu hanya ‘mengada-ada’. Karena, mana mungkin hanya
karena sebutir pil seseorang dapat berubah kuat luar biasa. Padahal iklan
tersebut hanya ingin menyampaikan pesan produk sebagai multivitamin yang
memberi asupan energi tambahan untuk beraktivitas sehari-hari agar tidak mudah
capek. Namun, cerita iklan dibuat ‘luar biasa’ agar konsumen percaya. Inilah
tipuan realitas atau hiperealitas yang merupakan hasil konstruksi pembuat
iklan. Barangkali kita masih teringat dengan pengalaman masa kecil (entah
sekarang masih ada atau sudah lenyap) di pasar-pasar tradisional melihat
atraksi seorang penjual obat yang memamerkan hiburan sulap kemudian mendemokan
khasiat obat di hadapan penonton? Padahal sesungguhnya atraksi tersebut telah
‘direkayasa’ agar terlihat benar-benar manjur di hadapan penonton dan penonton
tertarik untuk beramai-ramai membeli obatnya.
J. Derrida
Derrida terkenal dengan model semiotika
Dekonstruksi-nya. Dekonstruksi, menurut Derrida, adalah sebagai alternatif
untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang
baku. Konsep Dekonstruksi –yang dimulai dengan konsep demistifikasi,
pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian
realitas—pada dasarnya dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda
(siginifier) melalui penyusunan konsep (signified). Dalam teori Grammatology,
Derrida menemukan konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni,
karena semua tanda senantiasa sudah mengandung artikulasi lain (Subangun, 1994
dalam Sobur, 2006: 100). Dekonstruksi, pertama sekali, adalah usaha membalik
secara terus-menerus hirarki oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai
medannya. Dengan demikian, yang semula pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan
sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip.
Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang
permanen sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas.
Sebuah gereja tua dengan arsitektur gothic di
depan Istiqlal bisa merefleksikan banyak hal. Ke-gothic-annya bisa
merefleksikan ideologi abad pertengahan yang dikenal sebagai abad kegelapan.
Seseorang bisa menafsirkan bahwa ajaran yang dihantarkan dalam gereja tersebut
cenderung ‘sesat’ atau menggiring jemaatnya pada hal-hal yang justru
bertentangan dari moral-moral keagamaan yang seharusnya, misalnya mengadakan
persembahan-persembahan berbau mistis di altar gereja, dan sebagainya.
Namun, Ke-gothic-an itu juga dapat
ditafsirkan sebagai ‘klasik’ yang menandakan kemurnian dan kemuliaan ajarannya.
Sesuatu yang klasik biasanya dianggap bernilai tinggi, ‘berpengalaman’, teruji
zaman, sehingga lebih dipercaya daripada sesuatu yang sifatnya temporer.Di lain
pihak, bentuk gereja yang menjulang langsing ke langit bisa ditafsirkan sebagai
‘fokus ke atas’ yang memiliki nilai spiritual yang amat tinggi. Gereja tersebut
menawarkan kekhidmatan yang indah yang ‘mempertemukan’ jemaat dan Tuhan-nya
secara khusuk, semata-mata demi Tuhan. Sebuah persembahan jiwa yang utuh dan
istimewa.
Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah
tanda, sehingga makna-makna dan ideologi baru mengalir tanpa henti dari tanda
tersebut. Munculnya ideologi baru bersifat menyingkirkan (“menghancurkan” atau
mendestruksi) makna sebelumnya, terus-menerus tanpa henti hingga menghasilkan
puing-puing makna dan ideologi yang tak terbatas.Berbeda dari Baudrillard yang
melihat tanda sebagai hasil konstruksi simulatif suatu realitas, Derrida lebih
melihat tanda sebagai gunungan realitas yang menyembunyikan sejumlah ideologi
yang membentuk atau dibentuk oleh makna tertentu. Makna-makna dan ideologi itu
dibongkar melalui teknik dekonstruksi. Namun, baik Baurillard maupun Derrida
sepakat bahwa di balik tanda tersembunyi ideologi yang membentuk makna tanda
tersebut.
Umberto Eco
Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto
Eco sebagai ahli semiotikan yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda
yang paling komprehensif dan kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco penting
karena ia mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa
semiotika secara lebih mendalam (Sobur, 2006).
Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin
memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco kemudian mengubah konsep
tanda menjadi konsep fungsi tanda. Eco menyimbulkan bahwa “satu tanda bukanlah
entitas semiotik yang dapat ditawar, melainkan suatu tempat pertemuan bagi
unsur-unsur independen (yang berasal dari dua sistem berbeda dari dua tingkat
yang berbeda yakni ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar hubungan
pengkodean”. Eco menggunakan “kode-s” untuk menunjukkan kode yang dipakai
sesuai struktur bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak
memiliki arti apapun, dan dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi
secara linguistik. Kode-s bisa bersifat “denotatif” (bila suatu pernyataan bisa
dipahami secara harfiah), atau “konotatif” (bila tampak kode lain dalam
pernyataan yang sama). Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan karya
Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode-s yang
lebih bersifat dinamis daripada yang ditemukan dalam teori Saussure, di samping
itu sangat terkait dengan teori linguistik masa kini.
Ogden & Richard
Teori Semiotika C. K. Ogden dan I. A. Richard
merupakan teori semiotika trikotomi yang dikembangkan dari Teori Saussure dan
Teori Barthes yang didalamnya terdapat perkembangan hubungan antara Petanda
(signified) dengan Penanda (signifier) dimana Penanda kemudian dibagi menjadi
dua yaitu Peranti (Actual Function/Object Properties) dan Penanda (signifier)
itu sendiri. Petanda merupakan Konotasi dari Penanda, sedangkan Peranti
merupakan Denotasi dari Penanda. Pada teori ini Petanda merupakan makna,
konsep, gagasan, sedang Penanda merupakan gambaran yang menjelaskan peranti,
penjelasan fisik obyek benda, kondisi obyek/benda, dan cenderung (tetapi tidak
selalu) berupa ciri-ciri bentuk, ruang, permukaan dan volume yang memiliki
suprasegmen tertentu (irama, warna, tekstur, dsb) dan Peranti merupakan wujud
obyek/benda/fungsi aktual (Christian).
Semiotika Teks
Pengertian teks secara sederhana adalah
“kombinasi tanda-tanda” (Piliang, 2003). Dalam pemahaman yang sama, semua
produk desain (termasuk arsitektur dan interior) dapat dianggap sebagai sebuah
teks, karena produk desain tersebut merupakan kombinasi elemen tanda-tanda
dengan kode dan aturan tertentu, sehingga menghasilkan sebuah ekspresi bermakna
dan berfungsi (Yusita Kusumarini,2006). Dalam menganalisis dengan metode
semiotika, pada prinsipnya dilakukan dalam dua tingkatan analisis, yaitu :
Analisis tanda secara individual (jenis tanda, mekanisme atau struktur tanda), dan makna tanda secara individual.§Analisis tanda sebagai sebuah kelompok atau kombinasi (kumpulan tanda yang membentuk teks), biasa disebut analisis teks.§Untuk menganalisis tanda secara individual dapat digunakan model analisis tipologi tanda, struktur tanda, dan makna tanda (Piliang, 2003). Analisis tipologi tanda tersebut menggunakan teori semiotik pengelompokan tanda Charles Sanders Peirce. Sedangkan dalam hal analisis struktur tanda menggunakan teori semiotik Ferdinand de Saussure. Kemudian dalam menganalisis makna tanda dapat dilakukan dengan menggabungkan hasil analisis tipologi tanda dan struktur tanda. Gabungan analisis keduanya (tipologi tanda dan struktur tanda) akan menghasilkan makna tanda yang lebih kuat (Yusita Kusumarini,2006).
Untuk menganalisis tanda secara kelompok atau kombinasinya (analisis teks), tidak hanya sebatas menganalisis tanda (jenis, struktur, dan makna) tetapi juga termasuk pemilihan tanda yang dikombinasi dalam kelompok atau pola yang lebih besar (teks) yang mengandung representasi sikap, ideologi, atau mitos tertentu (latar belakang kombinasi tanda). Ada beberapa model dan prinsip analisis teks, salah satunya yang diajukan oleh Thwaites (Piliang, 2003). Prinsip dasar analisis teks adalah polisemi (keanekaragaman makna sebuah penanda). Konotasi tanda berkaitan dengan kode nilai, makna sosial, dan berbagai perasaan, sikap, atau emosi. Tiap teks adalah kombinasi sintagmatik tanda-tanda yang melalui kode sosial tertentu menghasilkan konotasi tertentu (metafora dan metonimi menjadi bagian dari kombinasi tanda). Konotasi yang berbeda bergantung pada posisi sosial pembaca dan faktor lain yang mempengaruhi cara berpikir dan menafsirkan teks. Konotasi yang diterima luas secara sosial akan menjadi denotasi (makna teks yang dianggap benar). Denotasi merepresentasikan mitos budaya, kepercayaan, dan sikap yang dianggap
Analisis tanda secara individual (jenis tanda, mekanisme atau struktur tanda), dan makna tanda secara individual.§Analisis tanda sebagai sebuah kelompok atau kombinasi (kumpulan tanda yang membentuk teks), biasa disebut analisis teks.§Untuk menganalisis tanda secara individual dapat digunakan model analisis tipologi tanda, struktur tanda, dan makna tanda (Piliang, 2003). Analisis tipologi tanda tersebut menggunakan teori semiotik pengelompokan tanda Charles Sanders Peirce. Sedangkan dalam hal analisis struktur tanda menggunakan teori semiotik Ferdinand de Saussure. Kemudian dalam menganalisis makna tanda dapat dilakukan dengan menggabungkan hasil analisis tipologi tanda dan struktur tanda. Gabungan analisis keduanya (tipologi tanda dan struktur tanda) akan menghasilkan makna tanda yang lebih kuat (Yusita Kusumarini,2006).
Untuk menganalisis tanda secara kelompok atau kombinasinya (analisis teks), tidak hanya sebatas menganalisis tanda (jenis, struktur, dan makna) tetapi juga termasuk pemilihan tanda yang dikombinasi dalam kelompok atau pola yang lebih besar (teks) yang mengandung representasi sikap, ideologi, atau mitos tertentu (latar belakang kombinasi tanda). Ada beberapa model dan prinsip analisis teks, salah satunya yang diajukan oleh Thwaites (Piliang, 2003). Prinsip dasar analisis teks adalah polisemi (keanekaragaman makna sebuah penanda). Konotasi tanda berkaitan dengan kode nilai, makna sosial, dan berbagai perasaan, sikap, atau emosi. Tiap teks adalah kombinasi sintagmatik tanda-tanda yang melalui kode sosial tertentu menghasilkan konotasi tertentu (metafora dan metonimi menjadi bagian dari kombinasi tanda). Konotasi yang berbeda bergantung pada posisi sosial pembaca dan faktor lain yang mempengaruhi cara berpikir dan menafsirkan teks. Konotasi yang diterima luas secara sosial akan menjadi denotasi (makna teks yang dianggap benar). Denotasi merepresentasikan mitos budaya, kepercayaan, dan sikap yang dianggap
BIDANG TERAPAN SEMIOTIK
Pada prinsipnya jumlah bidang terapan
semiotika tidaklah terbatas. Bidang semiotika ini sendiri bisa berupa proses
komunikatif yang tampak lebih alamiah dan spontan hingga pada sistem budaya
yang lebih kompleks.19 bidang yang bisa dipertimbangkan sebagai bahan kajian
ilmiah Semiotika menurut Eco (1979:9-14), antara lain :
1. Semiotika binatang (zoomsemiotic)
2. Tanda – tanda bauan (olfactory signs)
3. Komunikasi rabaan (tactile communication)
4. Kode – kode cecapan (code of taste)
5. Paralinguistik (paralinguistics)
6. Semiotika medis (medical semiotics)
7. Kinesik dan proksemik (kinesics and proxemics)
8. Kode – kode musik (musical codes)
9. Bahasa – bahasa yang diformalkan (formalized languages)
10. Bahasa tertulis, alfabet tidak dikenal, kode rahasia (written
languages, unknown alphabets, secret codes)
11. Bahasa alam (natural languages)
12. Komunikasi visual (visual communication)
13. Sistem objek (system of objects)
14. Struktur alur (plot structure)
15. Teori teks (text theory)1
16. Kode – kode budaya (culture codes)
17. Teks estetik (aesthetic texts)
18. Komunikasi Massa (mass comunication)
19. Retorika (rhetoric)