Anda mau menulis naskah drama dengan baik. Ada beberapa metode yang bisa Anda gunakan dalam membuat naskah drama. Namun, pada bagian ini saya ingin memberi Anda sebuah tulisan yang ditulis oleh Putu Wijaya untuk dijadikan sebuah referensi Anda dalam membuat naskah drama. Tulisan ini bagus untuk dibaca.
SELAMAT MEMBACA !!!!!
KIAT PENULISAN LAKON
Untuk menyusun naskah lakon, yang diperlukan
mula-mula adalah gagasan. Tidak semua hasrat atau keinginan adalah sebuah
gagasan. Gagasan atau ide dalam menulis lakon, adalah hasil perenungan dan
pemikiran.. Dalam hubungan dengan kerja kreatif, gagasan atau ide adalah apa
yang biasa disebut “inspirasi”.
Kita hindari istilah inspirasi atau ilham untuk sementara, karena apa yang disebut ilham sering dihubung-hubungkan dengan karunia Tuhan. Akibatnya banyak orang terkecoh lalu hanya menunggu untuk mendapatkannya. Padahal semua yang ada di dunia ini adalah karunia Tuhan. Yang disebutkan dengan gagasan di sini adalah hasil perenungan, hasil pemikiran, hasil kontemplasi. Bahkan mungkin hasil diskusi dan rembugan-rembugan, baik dengan diri sendiri, denganm orang lain atau pemahaman kebenaran yang lain.
Di dalam gagasan ada sesuatu yang baru, yang berbeda, yang lain dari yang sudah ada dikenal. Itulah yang menyebabkan seorang penulis lakon perlu melahirkan, mendeklarasikannya, agar dikenal oleh orang lain. Apakah gagasannya bagus dan berguna atau sebaliknya, sangat tergantung pada benturannya dengan sekitar setelah lahir sebagai lakon.
Jadi gagasan, walau pun merupakan cakal-bakal,
tetapi yang kemudian menentukan adalah pengembaraannya sebagai naskah. Untuk
itu diperlukan ketrampilan untuk mewujudkan gagasan itu menjadi lakon yang
baik. Lakon yang baik, bukan saja gagasannya bagus, tetapi juga memenuhi
persyaratan sebagai sebuah lakon, yakni punya daya pukau sebagai tontonan.
Tema adalah wilayah yang menunjuk, sudut kehidupan
yang mana yang akan digarap. Ke dalam tema yang menjadi flatform dari naskah
itu kemudian dipancangkan gagasan yang merupakan hasil pemikiran penulisnya.
Lalu dicari batang tubuhnya berupa cerita.
Cerita tidak selamanya berjalan lurus, runtun.
Dapat acak, sama sekali tanpa aturan atau kacau, sehingga nyaris bukan cerita
tetapi hanya suasana-suasana. Cerita yang bertutur membuat lakon menjadi potret
atau representasi kehidupan. Yang tidak bertutur, adalah pemikiran, sikap dan
rumusan-rumusan yang mengandung nilai-nilai yang dipakai dalam menghadapi
fenomena-fenomena kehidupan yang baru.
Dalam membangun cerita akan muncul berbagai
kebutuhan terhadap: waktu, tempat, tokoh-tokoh, kemudian alur, plot, konflik
dan sebagainya. Juga akan timbul masalah-masalah teknis yang mungkin akan
dijumpai dalam pelaksanaannya, sehingga penulis mesti memikirkan jalan
keluarnya. Sedangkan untuk rumusan-rumusan nilai yang diperlukan adalah
statemen-statemen tajam yang menggugah yang sering berbau pemberontakan dan
pembaruan, agar lebih menggigit.
Terakhir adalah pesan moral. Muatan apa yang mau
disampaikan oleh penulis, baik secara langsung maupun tak langsung. Watak,
idiologi, pandangan hidup, filosofi penulis naskah dapat dibaca dari isi pesan
moral dan cara menyampaikannya. Naskah yang tak memiliki pesan moral pun adalah
sebuah pesan moral.
Seperti dalam proses pembuatan bangunan, penulis
adalah seorang arsitek sekaligus pemborong proyek. Ia berpikir tentang konstruksi
bagaimana membuat sesuatu yang kuat dan indah. Ia memikirkan dengan cermat
wujud naskah itu.
Bila gagasannya memerlukan wadah besar yang
spektakuler, berarti naskah itu akan terdiri dari banyak babak sehingga
durasinya sampai beberapa jam. Atau sudah cukup satu babak, sekitar satu jam,
sehingga padat dan tajam. Di sini seorang penulis menentukan strategi dan
konsepnya.
Konsep adalah strategi untuk menerapkan gagasan.
Inilah pergulatan yang sebenarnya bagi setiap penulis lakon: bagaimana
memindahkan gagasannya menjadi sebuah tontonan. Untuk itu ia harus memahami
benar seluk-beluk seni pertunjukan. Ia perlu menguasai teknik-teknik penulisan,
sehingga ia bebas untuk menuangkan gagasannya. Ia tidak terhalang oleh
persoalan-persoalan teknis, sehingga konsentrasinya pada usaha menuangkan ide
tidak terhambat.
Di dalam menuangkan gagasan menjadi lakon juga
diperlukan “gagasan-gagasan”. Jadi bukan hanya isi, kemasan lakon pun harus
memberikan “gigitan”. Bentuk, struktur, cara menyampaikan pesan, bahasa, gaya,
jenis tontonan yang hendak dicapai, semua itu bukan hanya sekedar alat, tetapi
bisa menjadi isi itu sendiri. Bahkan pesan yang klise dan sangat sederhana,
tentang pengorbanan, misalnya, bisa menjadi baru karena cara menyampaikannya
berbeda dari apa yang biasa dilakukan.
Naskah yang menggigit baik isi maupun kemasannya
disebut “berdarah” atau “memiliki daya tendang”. Artinya lakon itu tidak hanya
sekedar bualan kosong. Bukan semata-mata memukau karena pasang surut ceritanya.
Tetapi karena mengandung sesuatu yang benar-benar penting, jitu atau baru.
Pengemasan yang pas, tajam atau unik membuat naskah itu punya nilai lebih.
Unsur pembaruan menyebabkan isinya yang sebenarnya biasa, bisa menjadi luar
biasa.
Mengubah sesuatu yang biasa menjadi luar biasa,
umumnya dicapai dengan melakukan penggalian dan pendalaman. Persoalan cinta
biasa antara dua remaja, bila digali lebih mendalam lagi, dimunculkan
kompleksitasnya, tiba-tiba menyeruak menjadi masalah kemanusiaan yang
universal. Cerita Romeo Dan Juliet karya Shakespearre , misalnya, bukan hanya
masalah percintaan tetapi menampilkan masalah-masalah mendasar kemanusiaan.
Cara lain adalah dengan menukar sudut pandang.
Sebuah pembunuhan dalam negara hukum akan berakhir dengan terhukumnya
pembunuhnya. Tetapi dengan menggeser sudut pandang, pembunuh itu bukan
dipenjarakan, tapi malah dinobatkan menjadi pahlawan. Kenapa? Sebab pembunuh
itu sudah berhasil menggoyang hukum yang tidur untuk beringas dan aktip kembali
menegakkan keadilan.
Sudut pandang adalah bagian penting di dalam apa
yang semula kita sebut gagasan. Diperlukan keberanian dan juga kejujuran untuk
memandang sesuatu keluar dari kebiasaan umum. Tujuannya bukan hanya sekedar
keluar, bukan hanya untuk berbeda, tetapi karena ada keyakinan, bahwa dengan
mampu melihat dari sudut pandang yang lain, kebenaran lebih terburai atau
muncrat.
Bila sebuah lakon tak hanya menghibur, tak hanya
menarik, tapi dapat membawa penonton pada kebenaran yang lain, dia menjadi
penting. Naskah tidak hanya akan menjadi sebuah persiapan untuk sebuah
pementasan, tetapi pengetahuan dan pencapaian kultural. Sebagaimana yang
terjadi pada “Waiting For Godot”. Karya Samule Beckett yang memenangkan hadiah
nobel itu adalah sebuah penemuan yang fenomenal. Beckett mencatat bahwa di
samping lahir dan mati, pada hakekatnya semua manusia adalah menunggu.
Gagasan yang bagus dapat hancur berantakan apabila
tidak terkemas dengan baik. Karena itu sebelum menulis lakon, seseorang harus
mengenal dulu teknik penulisan lakon. Umumnya pengemasan lakon memerlukan beberapa
unsur yang membuat hasilnya pas sebagai tontonan. Karena untuk itulah lakon
dibuat. Lakon yang ditulis hanya untuk dibaca biasa disebut drama “kloset”.
Sebagai tontonan, lakon harus memikat. Cerita akan
memikat kalau memiliki plot. Plot akan memukau bila mengandung empathi. Empathi
akan menjadi sempurna kalau dibumbui dengan ketegangan, konflik dan humor. Ada
juga yang menyelipkan kritik-kritik sosial, konteks dari lingkungannya,
sehingga lakon menjadi membumi dan memiliki komitmen sosial.
Naskah lakon dibuat untuk kemudian dipentaskan
sebagai pertunjukan. Kemungkinan-kemungkinan tontonan yang ada di dalam naskah
itu menjadi penting. Kemungkinan tersebut ada yang sudah dicantumkan secara
tertulis oleh penulisnya, tapi ada juga yang lahir akibat persentuhan dengan
sutradara dan pemain. Semakin banyak kandungan kemungkinan yang ada dalam
sebuah naskah, membuat naskah itu semakin kaya.
Sebuah naskah lakon yang kaya memberikan
kesempatan kepada sutradara, pemain serta penata artistik mengembangkan lakon itu
sehingga ia menjadi seperti tambang emas yang tak habis-habisnya digali. Di
dalamnya juga termasuk ruang-ruang yang diberikan kepada penonton. Naskah yang
bagus akan membuat penonton tak hanya penikmat yang pasif. Penonton akan hidup
dan ikut mencipta di dalam imajinasinya, sehingga pertunjukan benar-benar
merupakan sebuah dialog gencar antara tontonan dengan penonton sehingga
menciptakan pengalaman spiritual.
Sebuah naskah lakon yang baik akan menciptakan
pengalaman batin yang membuat penonton mengalami ekstase. Naskah yang kuat
memberikan rangsangan kreatif pada semua yang terlibat di dalam pementasan.
Baik naskah standar yang konvensional atau naskah kontemporer yang multi
iterpretasi, kalau ia berdarah, mengandung kekayaan sebagai seni pertunjukan, ia
tidak akan bersifat temporer, tetapi abadi. Naskah lakon yang baik tetap
berdarah di segala zaman dalam konteks dan referensi yang berbeda-beda. Setiap
kali dipentaskan ia akan mentransformasikan dirinya menjadi aktual dan baru.
II.CATATAN DARI LAPANGAN
Berikut catatan dapur saya di lapangan untuk
perbandingan:
Saya menulis lakon sejak saya masih SMA. Tetapi
lakon-lakon itu masih merupakan ,ide-ide mentah yang belum disentuhkan dengan
pengalaman lapangan. Naskah-naskah yang saya tulis adalah drama kloset. Drama
yang hanya untuk dibaca, miskin dari kemungkinan pemanggungan.
Setelah saya mulai main drama (Badak:Anton Chekov,
Barabah:Motinggo Boesye dan Selamat Jalan Anak Kufur:Utuy Tatang Sontany,
Pelacur:Sartre), baru saya memahami hubungan naskah dengan pementasan, memahami
hubungan naskah dengan penonton. Sejak itu saya mulai menulis naskah di Jogja
tidak lagi untuk dibaca tetapi untuk dimainkan. Dalam periode itu saya menulis
Bila Malam Bertambah Malam, Dalam Cahaya Bulan (1964). Kemudian Lautan Bernyanyi
(1967), Tak Sampai Tiga Bulan (1965), Orang-Orang Malam (1966). Semuanya
ditulis dan kemudian saya mainkan.
Pada tahun 1966, ketika membuat parade drama di
gedung BTN Jogja, saya melakukan monolog spontan berjudul Matahari Yang
Terakhir. Berlangsung bagus. Sesudah main baru naskahnya dituliskan. Menjadi
lebih jelas lagi bahwa lakon ditulis bukan untuk dibaca tetapi untuk dimainkan.
Kini saya sering memainkan monolog lebih dahulu dan sesudahnya baru ditulis.
Misalnya Merdeka dan Zmar.
Setelah menulis naskah untuk kebutuhan pementasan,
saya ikut pementasan Waiting For Godot (1969) Bengkel Teater, bermain sebagai
Pozzo. Terpengaruh oleh naskah itu, antara tahun 1971 s/d 1980 saya mulai
menulis naskah untuk berekspresi. (Aduh, Edan, Anu, Dag-Dig-Dug, Hum-PimPah).
Kecuali Dag-Dig-Dug, semuanya juga saya mainkan dengan Teater Mandiri di
Jakarta.
Pada tahun 1975 dan 1976 saya membuat pementasan
tanpa memakai naskah (Lho, Entah, Nol). Tidak ada cerita. Yang ada hanya
suasana dan gambar-gambar. Pementasan Lho yang dipersiapkan selama 4 bulan,
sangat visual, mengagetkan penonton dan mendapat sambutan bagus sekali.
Pengunjung sampai membludak selama 3 hari di Teater Arena TIM. Tetapi
pementasan selanjutnya penonton menipis dan akhirnya sangat kurang waktu NOL.
Waktu itu saya menyimpulkan yang dibutuhkan oleh penonton adalah cerita. Saya
kembali kepada kata-kata.
Setelah itu saya kembali membuat naskah yang penuh
kata-kata untuk pementasan (Dor, Blong, Awas, Los, Gerr, Zat, Tai, Front, Awas,
Aib, Wah). Di dalamnya ada cerita, karakter dan konflik. Tetapi saya tidak
berkiblat kepada realisme. Teater saya cenderung menjadi teater seni rupa.
Pada 1985 – 1988, saya berada di Amerika dan
membuat naskah, hanya untuk membuat naskah (Aeng, Aut, Jreng-Jreng-Jreng, Bah,
Hah). Naskah-naskah itu sampai sekarang belum pernah saya pentaskan.
Pada 1991 s/d 2003 saya sama sekali tidak membuat
naskah dan hanya melakukan pementasan-pementasan (Wesleyan, New York, Cal Art,
Seatle, Brunai Darusssalam, Tokyo, Hong Kong, Taipeh, Singapura, Kyoto,
Hamburg, Cairo) tanpa naskah (Yel, Yel II, Bor, The Coffin is too Bif for The
Hole, War, Zoom, Zero). Saya membuat sekumpulan monolog yang terhimpun dalam
buku DAR-DER-DOR.
Sejak 2003 saya mulai lagi menulis dan memainkan
monolog (Kemerdekaan, Demokrasi, Mulut, Merdeka, Memek, Perempuan, Pahlawan,
Surat Kepada Zetan, Zmar) selanjutnya sejak 2004 saya kembali menulis lakon
untuk pementasan (Jangan Menangis Indonesia, Zetan, TVRI). Dalam perjalanan
saya sebagai penulis, gagasan yang ada dalam setiap naskah terlahir didorong
oleh beberapa kebutuhan. Pertama kebutuhan untuk memiliki naskah sendiri.
Dengan naskah sendiri kebebasan mengembangkan tontonan akan lebih leluasa. Di
samping itu selesai pementasan, hasilnya akan tetap ada berupa naskah. Jadi
sekali kerja dua hal tercapai.
Kebutuhan lain yang mendorong adalah hasrat untuk
berekspresi, berdialog dengan penonton, memberikan kesaksian-kesaksian yang
personal tentang kejadian di sekitar. Saya merasa punya sudut pandang yang lain
dengan umumnya pandangan di sekitar. Tak ada maksud untuk memenangkan pandangan
sendiri, hanya ingin berbagi, mengutarakan kepada masyarakat bahwa perbedaan
itu harmoni yang dinamis.
Yang juga mewarnai gagasan itu adalah kompromi
terhadap kondisi pemain, keadaan sarana serta keterbatasan biaya produksi yang
semuanya kemudian membentuk sikap dasar saya dan Teater Mandiri (berdiri tahun
1971 di Jakarta) untuk berkiblat pada : Bertolak Dari Yang Ada. Yakni usaha
untuk memanipulasi kekurangan menjadi kekuatan dengan mengoptimalkan apa yang dimiliki.
Dengan cara itu tak ada yang tak mungkin dalam setiap produksi.
Pemain-pemain saya sebenarnya bukan pemain tapi
orang-orang biasa. Mereka bukan aktor. Ada tukang sapu dan maling kecil yang
tak bisa membaca. Orang cacad. Ibu rumah tangga. Bahkan pernah suami-sitri
pemulung ikut dalam produksi ( Kasan dan Kamisah dalam lakon Anu, 1974)
Keterlibatannya pada teater hanya karena senang. Keterbatasan mereka yang juga
membatasi produksi, saya balikkan menjadi kekuatan, sejak dari pembuatan
naskah. Naskah saya buat sesuai dengan potensi mereka.
Saya sangat terganggu dengan tidak adanya desiplin
dan komitmen dalam berlatih. Para pemain jarang datang lengkap dan selalu
merepotkan jadwal. Akhirnya saya menulis naskah yang membuat pemain sekali
masuk ke dalam adegan, untuk seterusnya tidak bisa keluar sampai lakon
berakhir. Ini yang membuat saya sampai ke naskah-naskah yang mengetengahkan
kelompok manusia sebagai sebuah karakter. Struktur itulah yang menjadi formula
semua naskah yang saya buat sampai 1989.
Pesan moral yang saya pegang dalam setiap
pembuatan naskah adalah usaha untuk melakukan “teror mental”. Upaya untuk
mengganggu, membangunkan, mengingat, membimbangkan, menggoda, menteror batin
penonton. Tujuannya agar penonton terbangun, tergugah dan berpikir lagi setelan
mendusin dari tidurnya.
Saya lihat akibat berbagai macam bentuk penjajahan
(politik, ekonomi, sosial, budaya), banyak orang setelah membuat keputusan
tidak mau berpikir lagi. Banyak orang karena dibius oleh sesuatu yang dahysat (
idiologi, paham, agama, kecendrungan, pendapat, ilmu) mengunci dirinya dalam
satu kesimpulan yang membuat ia seperti mati dalam kehidupan. Banyak manusia
menjadi mummi. Saya ingin mengajak ia bimbang dan memikirkan lagi posisinya,
tetapi tanpa berusaha untuk mempengaruhinya. Buat saya kebimbangan adalah suci.
Karena pesan moral itulah saya mengawali setiap
naskah dengan langsung menggebrak. Dan kemudian mengakhirinya dengan
mengambang. Tak ada kesimpulan. Kesimpulkan yang terbuka. Pertanyan berakhir
sebagai pertanyaan. Pertanyaan, jawabanya pertanyaan yang lain. Lakon adalah
sebuah PR kepada setiap penonton yang mengajak mereka berdialog dan kemudian
mengambil keputusan-keputusan untuk hidupnya sendiri.
Saya tidak memberikan banyak petunjuk di dalam
naskah (yang saya lakukan juga dalam membuat skrip film) karena berharap mereka
yang membaca/mempergunakan naskah itu akan melakukan penafsiran. Saya mengambil
posisi, saya sendiri belum tentu lebih tahu tentang naskah itu dari
penggunanya. Karenanya naskah-naskah itu mengapung, bersifat multi
interpretasi. Dapat dimaknakan ke mana saja, tergantung pembaca, pelaku atau
penontonnya.
Maksud saya untuk memberikan ruang kepada
sutradara. Tetapi hasilnya agak menyedihkan, karena kebanyakan penggunanya
kemudian mempergunakan seenak perutnya. Di samping itu naskah itu bagi yang
belum pernah menyaksikan pementasannya menjadi sulit dimengerti.
Dalam membuat naskah teater saya merasa tak pernah
mendapat hambatan. Sensor dan batasan dari berbagai aspek di sekitar saya
adalah tantangan, adalah kesempatan yang justru menolong saya mampu melompat.
Pengalaman dalam mengelak, menyiasati hambatan-hambatan itu, membuat saya
percaya bahwa kreativitas membuat tak ada yang tak mungkin di atas pentas.
Dengan cara memandang seperti itu, wilayah pentas adalah wilayah yang yang tak
terbatas. Kita bebas mengekspresikan apa saja.
Selamat berkarya.