Lenong
Lenong merupakan teater rakyat Betawi. Apa
yang disebut teater
tradisional
yang ada pada saat ini, sudah sangat berbeda dan jauh berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat
lingkungannya, dibandingkan dengan lenong
di zaman dahulu. Kata daerah Betawi, dan bukan
Jakarta, menunjukan bahwa yang dibicarakan adalah teater masa lampau. Pada saat itu, di
Jakarta, yang masih bernama Betawi (orang Belanda
menyebutnya: Batavia) terdapat empat jenis teater tradisional yang disebut topeng Betawi,
lenong, topeng blantek, dan jipeng atau jinong.
Pada kenyataannya keempat teater rakyat tersebut banyak persamaannya. Perbedaan umumnya hanya pada
cerita yang dihidangkan dan musik
pengiringnya.
Longser
Longser merupakan jenis teater tradisional
yang bersifat kerakyatan dan terdapat di
Jawa Barat, termasuk kelompok etnik Sunda. Ada beberapa jenis teater rakyat di daerah
etnik Sunda serupa dengan longser,
yaitu banjet. Ada lagi di daerah (terutama, di Banten), yang dinamakan ubrug. Ada pendapat yang
mengatakan bahwa longser berasal dari kata melong (melihat) dan seredet (tergugah).
Artinya barang siapa melihat (menonton)
pertunjukan, hatinya akan tergugah. Pertunjukan longser sama dengan pertunjukan kesenian rakyat yang
lain, yang bersifat
hiburan sederhana, sesuai dengan sifat kerakyatan,
gembira dan jenaka.Sebelum longser lahir, ada beberapa kesenian yang sejenis
dengan
Ketoprak
Ketoprak merupakan teater rakyat yang paling
populer, terutama di daerah Yogyakarta dan
daerah Jawa Tengah. Namun di Jawa Timur pun dapat ditemukan
ketoprak. Di daerah-daerah tersebut ketoprak merupakan kesenian rakyat
yang menyatu dalam kehidupan mereka dan mengalahkan
kesenian rakyat lainnya seperti srandul dan emprak. Pada mulanya ketoprak merupakan permainan
orang-orang desa yang sedang menghibur diri
dengan menabuh lesung pada waktu bulan purnama,
yang disebut gejogan. Dalam
perkembangannya menjadi
suatu
bentuk teater rakyat yang lengkap. Ketoprak merupakan salah satu bentuk teater rakyat yang
sangat memperhatikan bahasa yang digunakan.
Bahasa sangat memperoleh perhatian, meskipun yang digunakan bahasa Jawa, namun harus
diperhitungkan masalah unggah- ungguh bahasa. Dalam bahasa Jawa
terdapat tingkat-tingkat bahasa yang
digunakan, yaitu:
• Bahasa Jawa biasa (sehari-hari)
• Bahasa Jawa kromo (untuk yang lebih tinggi)
• Bahasa Jawa kromo inggil (yaitu untuk tingkat yang
tertinggi)
Menggunakan bahasa dalam ketoprak, yang diperhatikan
bukan saja penggunaan tingkat-tingkat
bahasa, tetapi juga kehalusan bahasa. Karena
itu muncul yang disebut bahasa ketoprak, bahasa Jawa dengan bahasa yang halus dan
spesifik.
Ludruk
Ludruk merupakan teater tradisional yang
bersifat kerakyatan di daerah
Jawa Timur, berasal dari daerah Jombang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa dengan
dialek Jawa Timuran. Dalam perkembangannya
ludruk menyebar ke daerah-daerah sebelah barat seperti karesidenan Madiun, Kediri, dan
sampai ke Jawa Tengah. Ciri-ciri bahasa
dialek Jawa Timuran tetap terbawa meskipun semakin ke barat makin luntur menjadi bahasa
Jawa setempat. Peralatan musik daerah yang
digunakan, ialah kendang, cimplung, jidor dan gambang dan sering ditambah tergantung pada
kemampuan grup yang memainkan ludruk tersebut.
Dan lagu-lagu (gending) yang digunakan, yaitu Parianyar, Beskalan,
Kaloagan, Jula-juli, Samirah, Junian.
Pemain ludruk semuanya adalah pria. Untuk peran wanitapun dimainkan oleh pria. Hal
ini merupakan ciri khusus ludruk. Padahal sebenarnya
hampir seluruh teater rakyat di berbagai tempat, pemainnya selalu pria (randai, dulmuluk, mamanda,
ketoprak), karena pada zaman itu
wanita tidak diperkenankan muncul di depan umum.
Gambuh
Gambuh merupakan teater tradisional yang
paling tua di Bali dan
diperkirakan
berasal dari abad ke-16. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Bali kuno dan terasa sangat sukar
dipahami oleh orang Bali sekarang.
Tariannya pun terasa sangat sulit karena merupakan tarian klasik yang bermutu tinggi. Oleh karena itu
tidaklah mengherankan kalau gambuh
merupakan sumber dari tari-tarian Bali yang ada. Sejarah gambuh telah dikenal sejak abad ke-14 di
Zaman Majapahit dan
kemudian
masuk ke Bali pada akhir Zaman Majapahit. Di Bali, gambuh dipelihara di istana raja-raja.
Kebanyakan lakon yang
dimainkan gambuh diambil dari struktur cerita Panji yang diadopsi ke dalam budaya
Bali. Cerita-cerita yang dimainkan
di antaranya adalah Damarwulan, Ronggolawe, dan Tantri. Peran-peran utama
menggunakan dialog berbahasa Kawi, sedangkan para punakawan berbahasa Bali. Sering pula
para punakawan menerjemahkan bahasa Kawi
ke dalam bahasa Bali biasa. Suling
dalam gambuh yang suaranya sangat rendah, dimainkan dengan teknik pengaturan nafas yang sangat
sukar, mendapat tempat
yang
khusus dalam gamelan yang mengiringi gambuh, yang sering disebut gamelan “pegambuhan”. Gambuh
mengandung kesamaan
dengan
“opera” pada teater Barat karena unsur musik dan menyanyi mendominasi pertunjukan. Oleh karena itu para
penari harus dapat
menyanyi.
Pusat kendali gamelan dilakukan oleh juru tandak, yang duduk di tengah gamelan dan
berfungsi sebagai penghubung antara penari dan musik. Selain dua atau empat suling, melodi
pegambuhan dimainkan
dengan
rebab bersama seruling. Peran yang paling penting dalam gamelan adalah pemain kendang lanang atau
disebut juga kendang
pemimpin.
Dia memberi aba-aba pada penari dan penabuh.
Arja
Arja merupakan jenis teater tradisional yang
bersifat kerakyatan,
dan
terdapat di Bali. Seperti bentuk teater tradisi Bali lainnya, arja merupakan bentuk teater
yang penekanannya pada tari dan nyanyi. Semacam
gending yang terdapat di daerah Jawa Barat (Sunda), dengan porsi yang lebih banyak diberikan pada bentuk
nyanyian (tembang).
Apabila
ditelusuri, arja bersumber dari gambuh yang disederhanakan unsur-unsur tarinya, karena ditekankan pada
tembangnya. Tembang
(nyanyian)
yang digunakan memakai bahasa Jawa Tengahan dan bahasa Bali halus yang disusun dalam tembang
macapa.
Selanjutnya baca : Sejarah Teater Indonesia ( 4 )
Selanjutnya baca : Sejarah Teater Indonesia ( 4 )