Teater Modern
Teater Transisi
Teater transisi adalah penamaan atas kelompok
teater pada periode saat teater
tradisional mulai mengalami perubahan karena pengaruh budaya lain. Kelompok teater yang
masih tergolong kelompok teater
tradisional dengan model garapan memasukkan unsur-unsur teknik teater Barat, dinamakan
teater bangsawan. Perubahan tersebut terletak pada cerita yang sudah mulai ditulis,
meskipun masih dalam wujud cerita ringkas
atau outline story (garis besar cerita per adegan). Cara
penyajian cerita dengan menggunakan
panggung dan dekorasi.
Mulai memperhitungkan teknik yang
mendukung pertunjukan.
Pada
periode transisi inilah teater tradisional berkenalan dengan teater non-tradisi. Selain
pengaruh dari teater bangsawan, teater tradisional
berkenalan juga dengan teater Barat yang dipentaskan oleh orang-orang Belanda di Indonesia sekitar
tahun 1805 yang kemudian berkembang
hingga di Betawi (Batavia) dan mengawali berdirinya gedung Schouwburg pada tahun
1821 (Sekarang Gedung Kesenian Jakarta). Perkenalan masyarakat
Indonesia pada teater non-tradisi dimulai sejak
Agust Mahieu mendirikan Komedie Stamboel di Surabaya pada tahun 1891, yang pementasannya secara teknik
telah banyak mengikuti
budaya
dan teater Barat (Eropa), yang pada saat itu masih belum menggunakan naskah drama/lakon. Dilihat dari
segi sastra, mulai
mengenal
sastra lakon dengan diperkenalkannya lakon yang pertama yang ditulis oleh orang Belanda F.Wiggers
yang berjudul Lelakon Raden Beij
Soerio Retno, pada tahun 1901. Kemudian disusul oleh Lauw Giok
Lan lewat Karina Adinda, Lelakon Komedia Hindia
Timoer (1913), dan lain-lainnya,
yang menggunakan bahasa Melayu Rendah. Setelah
Komedie Stamboel didirikan muncul kelompok sandiwara seperti Sandiwara Dardanella (The
Malay Opera Dardanella) yang didirikan
Willy Klimanoff alias A. Pedro pada tanggal 21 Juni 1926. Kemudian lahirlah kelompok sandiwara lain,
seperti Opera Stambul,
Komidi
Bangsawan, Indra Bangsawan, Sandiwara Orion, Opera Abdoel Moeloek, Sandiwara Tjahaja Timoer, dan
lain sebagainya. Pada masa teater
transisi belum muncul istilah teater. Yang ada adalah sandiwara. Karenanya rombongan teater
pada masa itu menggunakan nama sandiwara,
sedangkan cerita yang disajikan dinamakan drama. Sampai
pada Zaman Jepang dan permulaan Zaman Kemerdekaan,
istilah sandiwara masih sangat
populer. Istilah teater bagi masyarakat Indonesia baru dikenal setelah Zaman Kemerdekaan.
Teater Indonesia tahun 1920-an
Teater pada masa kesusasteraaan angkatan
Pujangga Baru kurang berarti jika dilihat
dari konteks sejarah teater modern Indonesia tetapi cukup penting dilihat dari sudut
kesusastraan. Naskah-naskah drama
tersebut belum mencapai bentuk sebagai drama karena masih menekankan unsur sastra dan sulit untuk
dipentaskan. Drama-drama Pujangga
Baru ditulis sebagai ungkapan ketertekanan kaum intelektual dimasa itu karena
penindasan pemerintahan Belanda yang amat keras terhadap kaum pergerakan sekitar tahun 1930-an.
Bentuk sastra drama
yang
pertamakali menggunakan bahasa Indonesia dan disusun dengan model dialog antar tokoh
dan berbentuk sajak adalah Bebasari (artinya kebebasan yang sesungguhnya
atau inti kebebasan) karya Rustam
Efendi (1926). Lakon Bebasari merupakan
sastra drama yang menjadi pelopor
semangat kebangsaan. Lakon ini menceritakan perjuangan tokoh utama Bujangga, yang
membebaskan puteri Bebasari dari niat jahat Rahwana. Penulis lakon lainnya, yaitu Sanusi
Pane menulis Kertajaya (1932)
dan Sandyakalaning Majapahit (1933) Muhammad Yamin menulis Ken
Arok dan Ken Dedes (1934). Armiijn Pane mengolah roman Swasta Setahun
di Bedahulu karangan I Gusti Nyoman Panji Tisna menjadi naskah drama. Nur Sutan
Iskandar menyadur karangan Molliere, dengan judul Si Bachil. Imam
Supardi menulis drama dengan judul Keris Mpu Gandring. Dr. Satiman Wirjosandjojo
menulis drama berjudul Nyai Blorong.
Mr. Singgih menulis drama berjudul Hantu. Lakon-lakon ini ditulis berdasarkan tema
kebangsaan, persoalan, dan harapan serta misi mewujudkan Indonesia sebagai negara merdeka.
Penulis-penulis ini
adalah
cendekiawan Indonesia, menulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan berjuang untuk kemerdekaan
Indonesia. Bahkan Presiden pertama
Indonesia, Ir Soekarno, pada tahun 1927 menulis dan menyutradarai teater di Bengkulu (saat di
pengasingan). Beberapa lakon yang
ditulisnya antara lain, Rainbow, Krukut Bikutbi, dan Dr.
Setan.
Selanjutnya baca : Sejarah Teater Indonesia ( 5 )
Selanjutnya baca : Sejarah Teater Indonesia ( 5 )