Dari
sisi cerita, mereka mampu mengangkat realita kehidupan yang biasa-biasa
saja sebagai peristiwa yang universal dan aktual. Dari persoalan sehari-hari ke
gugatan atau perenungan soal-soal kritik nilai-nilai dan falsafah hidup, yang
dikemas dengan jenaka, parodi, urakan, serta sesekali mentertawakan diri
sendiri. Mereka kerap mempermainkan unsur parikan (semacam pantun
Jawa, biasa digunakan dalam teater tradisional ludruk). Guyonan yang
ceplas-ceplos dan sesekali saru (pornografi).
Selain
gerak tari yang luwes, satu yang khas dari Sahita adalah musik
keluar dari mulut pemainnya. Mereka menirukan suara kendang, bonang,
saron dan gong. Di panggung, Sahita biasa menyentil wajah negeri ini, mulai
perkara poligami, beras impor, korupsi, bantuan langsung tunai, sampai makelar
kasus.
Coba
simak celotehan mereka tentang impor beras dan korupsi; “Katanya negeri
kita ini negeri agraris, tapi rakyat mendapat beras dengan mengemis. Katanya
negeri kita subur makmur, tapi petani tak bisa bercocok tanam. Katanya negeri
kita gemah ripah, tapi kok makin banyak orang serakah.”
Sahita
didirikan oleh lima perempuan, yaitu Wahyu Widayati (Inonk), Sri Setyoasih
(Tingtong), Sri Lestari (Cempluk), Suharti dan Atik Kenconosari. Kecuali Sri
Lestari yang jebolan Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo, keempat
anggota Sahita lainnya merupakan alumnus Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI)
–sekarang Institus Seni Indonesia (ISI) Surakarta.
Seperti
kata Inonk, Sahita mungkin sebagai kelompok yang memadukan antara tari dan
teater. Namun sebagai pertunjukan teater, tidak ada aktor tunggal di sana.
Semuanya adalah aktor sekaligus penari. Dalam lakon “Srimpi Srimpet” yang
pernah dipentaskan misalnya, semua pemainnya berperan sebagai penari, tidak ada
aktor yang menjadi rujukan, tidak ada individu yang dominan. Sebaliknya para
pemain dituntut saling mengisi.
Berdiri
sejak 9 tahun lalu, Sahita terhitung cukup produktif. Belasan karya telah
mereka pentaskan di berbagai kota, termasuk Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.
Selain “Srimpi Srimpret” , beberapa karya Sahita antara lain, “Gathik
Glinding”, “Srimpi Ketawang Lima Ganep”, “Iber-iber Tledhek Barangan”, “Pangkur
Brujul”, “Seba Sawaka”, “Alas Banon”, dan “Seratan”.
“Sahita
bisa jalan seperti ini, karena kita sudah akrab. Lha kita sebelumnya sudah
bertahun-tahun di Gapit (Teater). Kita bertemu di Sahita karena Gapit bubar.
Jadi antara saya, Tintong, Cempluk, dan Atik itu sudah sama-sama tahu harus
bagaimana kalau di panggung,” ujar Inonk.
“Srimpi
Srimpet” adalah pentas pertama Sahita, yang merupakan respon dari Serat
Kalatida karya Ronggowarsito. Kita tahu, Srimpi adalah salah satu tarian
keraton yang dipercaya sacral dengan pancaran aura magis. Tarian ini dibawakan
oleh empat putri yang masih perawan. Syair tembang yang dilantunkan penari seiring
tarian menyuarakan ajaran moral. Gerakan empat penari pun sangat lembut,
mencerminkan kehalusan budi. Maka, para penari pun tampil dengan raga terjaga,
rambut tertata, serta busana yang sempurna.
Namun
di tangan Sahita, Srimpi yang sakral itu ditafsir ulang menjadi “Srimpi
Srimpet”. Itulah pentas parodi yang meletakkan Srimpi dalam konteks persoalan
sehari-hari masa kini. Formasi empat penari tetap dipertahankan sesuai dengan
Srimpi “asli.” Namun, mereka kemudian menyeret Srimpi keluar dari pakem
yang selama ini melekat.
Empat
penari memakai kostum jarik atau kain dan kebaya dengan warna yang telah
memudar. Rambut mereka beruban dan awut-awutan layaknya perempuan usia 60-an
tahun. Dengan gaya “mbok-mbok” seperti itu, maka gerakan tari yang mereka pun
terkesan urakan dibandingkan Srimpi asli. Betapa tidak, empat penari
Sahita itu tak segan menungging-nungging, menggoyang pinggul, atau menggelosor
di lantai.
Tak
ada iringan gamelan, kecuali bunyi-bunyian dari mulut yang kadang menirukan
suara kendang atau saron. Kata-kata halus diselingi suara seperti gonggongan
binatang dari para penari. Suasana wingit (angker) yang terbangun
di awal tari seperti dijungkirbalikkan menjadi guyonan.
“Kami
memang sedang menggugat mitos dan eksklusivitas kesenian. Srimpi itu sebenarnya
kan bisa dibawakan oleh siapa saja. Tapi yang merasa diri adiluhung, membatasi
penari Srimpi harus muda dan cantik-cantik. Itu kan namanya diskriminasi,” kata
Inonk saat ditemui di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) Solo.
Inonk
menambahkan “Srimpi Srimpet” sempat dikritik pihak keratin, karena dianggap
melecehkan budaya adiluhung. Tapi Sahita jalan terus. Bahkan khusus untuk
“Srimpi Srimpet”, Sahita sudah mementaskan hingga sebanyak 45 kali, jauh lebih
banyak dibanding lakon-lakon lain yang hanya dipentaskan ulang sekitar 5-7
kali.
Sebagai
sebuah kelompok teater tari, Sahita terhitung praktis dalam pementasan. Mereka
tidak memerlukan properti yang rumit, kostum dan make up pun sebagaimana
sehari-hari mereka mengenakan pakaian. Mereka bahkan tidak hanya pentas
di panggung atau gedung megah, tapi juga bisa pentas di bawah pohon, pelataran
kampus, bahkan di balai desa. Boleh jadi, konsep pementasan Sahita
menggabungkan gaya teater modern dan tradisional -menyajikan dialog-dialog
penuh penuh guyonan segar, tarian Jawa yang parodial.
Sahita
tentu saja bukan grup lawak. Namun jika mereka lucu, silakan tertawa. Penonton
juga tak perlu mikir yang lain, apalagi sampai harus menafsirkan gerak tubuh
dan koreografi yang mbulet (rumit). Dalam Sahita, semuanya terlihat
sederhana san segar. Bisa jadi karena itulah pentas-pentas Sahita tak pernah
sepi dari penonton