Hujan siang ini, mengingatkan pada cerita pohon - pohon. Yang ditumbangkan begitu saja dengan alasan - alasan sedemikian rupa. Sehingga " Pak Emon " meradang, dan memelihara dendamnya pada laki - laki penebang pohon - pohon. Aku membayangkan, jika tokoh " Pak Emon " dijadikan sosok pembela, yang
menghantui semua para penebang pohon - pohon. Ia akan meneror semuanya,
hanya dengan sebilah pisau cukurnya ( yang selalu ia asah ).
Kenapa " Pak Emon "?
Mungkin karena ia adalah salah satu korban dari penebangan pohon secara sembarangan. Ketika pohon - pohon ditebangi, ia mulai kehilangan tempat tinggalnya. Bahkan anak istrinya tak mampu bertahan hidup karenanya ( pohon - pohon ditebangi ).
Seperti longsor di Banjarnegara ( yang telah terjadi beberapa waktu lalu ), juga banjir di beberapa kota. Dimana tanah tak mampu lagi membendung air yang datang melimpah ruah. Dan seperti " Pak Emon ", banyak dijumpai Emon - Emon lain, yang juga kehilangan anak dan istrinya ( di Banjarnegara dan kota - kota lainnya ). Mungkin mereka hanya memendam duka untuk dirinya sendiri. Mereka tak berani " mengasah pisau cukur " nya, untuk menunggu laki - laki penebang pohon, seperti " Pak Emon ". Atau malah, mereka itu adalah laki - laki penebang pohon yang terkena kutuk atas perilaku mereka, dan tentu saja doa amarah " Pak Emon ".
Entahlah!!!
Yang pasti, pohon adalah pengikat tanah dan air, yang menjadikan tanah air layaknya zamrud khatulistiwa.
Maka jadilah " Pak Emon ", yang menanam pohon - pohon dan tak membiarkan siapapun menebangi sesuka hati. Hanya bersenjatakan " pisau cukur "
Kenapa " Pak Emon "?
Mungkin karena ia adalah salah satu korban dari penebangan pohon secara sembarangan. Ketika pohon - pohon ditebangi, ia mulai kehilangan tempat tinggalnya. Bahkan anak istrinya tak mampu bertahan hidup karenanya ( pohon - pohon ditebangi ).
Seperti longsor di Banjarnegara ( yang telah terjadi beberapa waktu lalu ), juga banjir di beberapa kota. Dimana tanah tak mampu lagi membendung air yang datang melimpah ruah. Dan seperti " Pak Emon ", banyak dijumpai Emon - Emon lain, yang juga kehilangan anak dan istrinya ( di Banjarnegara dan kota - kota lainnya ). Mungkin mereka hanya memendam duka untuk dirinya sendiri. Mereka tak berani " mengasah pisau cukur " nya, untuk menunggu laki - laki penebang pohon, seperti " Pak Emon ". Atau malah, mereka itu adalah laki - laki penebang pohon yang terkena kutuk atas perilaku mereka, dan tentu saja doa amarah " Pak Emon ".
Entahlah!!!
Yang pasti, pohon adalah pengikat tanah dan air, yang menjadikan tanah air layaknya zamrud khatulistiwa.
Maka jadilah " Pak Emon ", yang menanam pohon - pohon dan tak membiarkan siapapun menebangi sesuka hati. Hanya bersenjatakan " pisau cukur "