TUK dan Keluarga Segitiga Teater

Suasana panggung yang menampakkan sebuah sumur berukuran agak besar, tepat berada ditengah perkampungan kumuh. Beberapa penghuni yang sudah mulai dimakan usia tampak beraktifitas di perkampungan padat penduduk tersebut. Mereka adalah orang – orang desa yang nekad mengadu nasib di kota. Dan disana, mereka hidup secara magersaren alias numpang hidup di atas tanah seorang kaya yang dermawan  ( KESETdoc )
Kiranya demikian hal yang menjadi illustrasi awal pengantar naskah TUK, yang merupakan salah satu naskah karya Bambang Widoyo Sp alias Kenthut yang digarap oleh Keluarga Segitiga Teater sebagai proses produksi yang ke – 11 dengan menggandeng salah satu Teater kampus yaitu Teater Obeng. Berbicara tentang naskah “ TUK “ sendiri, Keluarga Segitiga Teater melihat sebuah realitas social yang ( hampir ) sering terjadi di masyarakat. Sebuah harmoni dan solidaritas sosial yang telah lama mapan mulai terkoyak dengan adanya isu kedatangan investor properti yang kompleks itu merebak, dan diakhiri dengan kecemasan – kecemasan terhadap penggusuran. Hal tersebut sangatlah jelas terlihat pada pemanggungan oleh awak Keluarga Segitiga Teater tanggal 06 Desember 2014 kemarin di Auditorium UMK Kudus. Bagaimana terjadi multi konflik antar dan inter personal kampung magersaren tersebut. Diawali konflik rumah tangga yang dilatar belakangi perselingkuhan Romli, ketakberdayaan Mbok Jiah dalam menghadapi kebutuhan hidup, gagalnya Soleman mendapatkan sejumlah uang dikarenakan ayam jago bangkoknya tercebur sumur yang berakhir pada perselisihan antara Soleman, Mbah Kawit, Mbokde Jemprit dan sejumlah penghuni Magersaren. Hingga meninggalnya Mbah Kawit, karena menanggung beban atas weling Juragan Tanah ( Den darso ). Namun pola hidup saling menghargai dan menjaga keseimbangan dengan alam dan lingkungan pun juga ditonjolkan dalam penggarapan naskah ini. Sebuah penghargaan pada keberadaan sebuah sumur tua yang telah lama menghidupi masyarakat, dimana ketika Bibit berusaha membuang ember bobrok kedalam sumur. dan Soleman yang ( ternyata ) telah mengencingi sumur tersebut. Ketika diyakini bahwa sumber air adalah awal mula sebuah kehidupan yang harus dijaga keharmonisannya. Dan ketika simbol rejeki dan harmoni kehidupan ternoda, maka petakalah yang muncul. Mbah Kawit berteriak histeris. Ia ( seolah ) melihat api mulai menjalar dari rumah-rumah kumuh mereka. Air yang diminta untuk menyiram tak kunjung datang. Penghuni gaduh, saling menyalahkan.
Menurut NH. Cipo selaku sutradara Keluarga Segitiga Teater, TUK adalah empati dan advokasi Bambang Widoyo Sp pada kaum pendatang tak berdaya, yang selalu digusur oleh beragam kepentingan dan kedigdayaan kuasa uang. Kebakaran atau pembakaran nyaris sama dengan penggempuran dengan buldozer, yang sering ditayangkan di televisi. Hasilnya sama: semua rata dengan tanah, semua meratap kehilangan harap.
Keluarga Segitiga Teater sendiri adalah sebuah komunitas teater kampung yang ada di kota Kudus, yang terus mencoba mempertahankan eksistensinya sebagai sebuah kelompok teater. Keluarga Segitiga Teater sendiri dibentuk pada tanggal 09 Maret 2009, diprakarsai oleh tiga orang yang notabene berasal dari tiga kelompok teater yang berbeda
Share this article :
 

linkwithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. DUDU DEWO - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger