Tampak seorang ibu muda
sedang bermuram durja. Wajahnya kelihatan murung, rambutnya kusut. Dia duduk temenung sendirian. Suaminya menatapnya dengan wajah sedih. Usut
punya usut tenyata ibu muda itu baru saja kehilangan putranya
yang baru berumur tiga bulan. Betapa sedihnya kehilangan anak yang baru
berumur segitu. Beberapa sanak saudara berkunjung
ikut bela sungkawa karena anak itu ternyata putra ketiga mereka
dari usia pernikahan yang sudah menginjak lima tahun.Ketiga - tiganya meninggal pada usia kurang
dari satu tahun. Hal ini jadi bahan diskusi tetangga-tetangga kanan kiri.
“ Ada apa ya dengan ibu itu, kenapa
putranya selau meninggal seperti itu? ” tanya salah
seorang diantara beberapa ibu-ibu yang sedang ngerumpi.
“Yach…gak tau juga. Barangkali itu sudah nasibnya
demikian” jawab yang lain.
“Saya pernah denger, katanya perempuan yang selalu
kehilangan bayi disebut matenan. Apa
begitu ?”
“ Ya, saya
juga pernah dengar begitu. Bahkan ada perempuan yang selau gonta ganti suami
bukan karena cerai tapi karena suaminya meninggal setelah mengawini perempuan
itu”
Kree..k, suara
pintu terdengar, ibu - ibu yang duduk disitu terkejut
ketakutan karena mereka habis ngobrolin hal - hal yang seram. Ternyata yang
membuka pintu Mbah Harjo, ibunya si ibu yang
rumahnya ketempatan ngrumpi. Mbah harjo heran melihat wajah ketakutan
ibu - ibu tukang ngrumpi itu.
“ Kok pada
kaget….? Memangnya ada apa ?” tanya Mbah Harjo penasaran. Ibu-ibu itu nggak menjawab. Sebagian senyum-senyum sebagian
lagi menunduk.
“ Hmm……saya
tahu…kalian ngomongin Wati kan…yang baru kehilangan anak itu…?”
Wajah ibu - ibu itu tampak malu karena mereka ketahuan lagi ngomongin orang lain.
“Kalo menurut ibu gimana, bu ?” tanya anak
perempuannya.
“ Ibu juga
nggak tahu, yang ibu tahu bahwa hidup dan
mati itu sepenuhnya ada dalam genggaman Tuhan, hanya ibu pernah dengar dulu nenekmu
pernah cerita….” Mbah Harjo memutus bicaranya.
“Cerita apa ,mbah,….? Ceritain dong ke kami - kami ini
siapa tahu berguna…” celetuk salah satu diantara
mereka.
“ Uhuk…uhuk…uhuk… ” Mbah Harjo terbatuk batuk sambil menghela napas. Tampak wajahnya menyimpan
misteri.
“Ayo dong ,bu,ceritain, kami
penasaran nich….” kata anaknya nggak sabar.
“ Dulu adik
nenekmu juga begitu. Setiap kali dia melahirkan anak, maka anak itu meninggal dalam usia
kurang dari enam bulan. Tidak hanya tiga kali bahkan sampai sebelas kali “. Suaminya tetap sabar mendampingi dia. Suatu hari
pernah suaminya berkata : “Kalau sampai
dua belas kali aku akan menceraikan dia”, begitu katanya. Selang beberapa
bulan kemudian adik nenekmu hamil untuk yang ke dua belas. Ucapan suaminya
akhirnya sampai juga di telinga Bulek ( ibu cilik : panggilan untuk adik perempuan ibu ), tapi terlambat karena dia sudah hamil enam bulan .
Sejak itu dia murung, ketakutan. Dia berpikir kalau benar terjadi bagaimana
dirinya nanti, siapa yang mau menggantikan suaminya kalau dia dicerai.
“ Malang benar
nasibku ” begitu
katanya sambil meratapi nasibnya.Begitulah hari demi hari dia lalui. Dia
memandangi perutnya yang semakin membesar. Sampai kandungannya
berusia sembilan bulan dia tampak tertekan dan semangat hidupnya hilang. Dia
merasa sebentar lagi dia akan melahirkan dan dia trauma apalagi ditambah ucapan
suaminya itu.
“Esok harinya, suaminya
mendatangi ibu. Dia bercerita bahwa tadi malam dia mendapat
firasat buruk. Dia bermimpi melihat pohon mangga berbuah tetapi buahnya gugur
ke tanah. Dia hitung buah yang gugur sebelas biji. Selesai menghitung dia
melihat pohon mangga itu layu dan mati tapi masih ada satu buah yang
tergantung di pohon. Tidak lama kemudian pohon itu tumbang bersama buah ke dua
belas….uhuk…uhuk..uhuk ” Mbah Harjo terbatuk - batuk sambil menghela napas panjang. Ibu-ibu yang mendengarkan cerita Mbah Harjo celingukan. Mereka saling pandang satu sama lainnya. Putri Mbah Harjo tidak berani bersuara, dia terdiam seakan-akan sudah tahu kemana arah
jalan cerita ibunya itu. Mbah harjo meneruskan ceritanya:
“ Selang dua
minggu kemudian ada orang datang memberitahu ibu bahwa buleknya telah tiada bersama dengan anak yang ia
kandung. Dia meninggal saat melahirkan dan jabang bayi yang ia kandung
juga ikut meninggal. Bulek ibu dikubur bersama dengan bayinya yang terahir.”. Keluarga ibu mendapat
duka yang dalam terlebih lagi suami buleknya. Dia sangat menyesal kenapa dia
sampai mengeluarkan kata-kata seperti itu. Kalau dia ingin menceraikan istrinya
kenapa tidak dia ceraikan ketika belum hamil mengapa harus menunggu sampai anak
ke duabelas. Hal ini menjadi perbincangan yang ramai di keluarga sampai pada
akhirnya suami almarhumah bulek pergi dari rumah tanpa pamit. Hampir setengah
tahun kami mencarinya tapi jejaknya tidak kelihatan. Ada yang mengatakan dia ke
luar pulau Jawa dan ada yang mengatakan dia sudah meninggal dsb. Selang lima
tahun kemudian kami mendapatkan kabar bahwa dia sekarang sudah berkeluarga dan
mempunyai keturunan tiga orang anak, dua laki-laki dan yang bungsu perempuan.
Lama kejadian ini kami simpan tidak pernah kami bahas lagi hingga pada
suatu hari almarhum ayahmu menceritakan kejadian ini kepada temannya di
kampung. Temannya itu menjawab :
“Saya pernah bertanya kepada ibu
saya kenapa ibu saya punya sebelas orang anak dan saya adalah
anak kesebelas sedangkan bude saya (kakak perempuan ibu) tidak punya keturunan. Ketika hal
ini saya tanyakan ibu saya menjawab :
“Barangkali Tuhan percaya kepada
ibumu oleh sebab itu dia menitipkan hambanya sampai sebelas orang sedangkan
mbakyu (kakak perempuan) tidak dia beri momongan (anak). Apakah Tuhan tidak
percaya kepada mbakyu ?” tanya ibu kepada
saya. Saya tidak menjawab karena saya takut salah dan menyinggung perasaan
orang tua. Ibu saya meneruskan,
“Anak itu kan titipan, betul…. ?
Apakah kamu mau menitipkan sesuatu kepada orang yang tidak kamu yakini dia bisa
menjaganya ?. Oleh karena itu jika jika kamu nanti dititipi Tuhan apapun
wujudnya hendaklah kamu jaga titipan itu sebaik-baikya jangan kamu sia-siakan”
Ibu - ibu tukang ngerumpi itu paham dengan cerita Mbah Harjo, sebab menjaga
dengan baik titipan itu termasuk tanda terimakasih kepada Sang Penitip
yang telah percaya menitipkan hambaNya kepada mereka.