Mengapa Berteater? (Antara Aku, Keset dan Tuk)

Oleh Pipiek Isfianti

Di usia yang seharusnya sudah kenyang untuk bermain-main menjadi orang lain, aku justru seperti tak pernah berhenti. Aku pikir "kutukan" itu telah selesai begitu aku menginjakka kaki di kota yang mempunyai makam dua wali ini. Sengaja aku ingin istirah dari panggung ke panggung yang selama ini kulakoni di hampir separuh usia. Latihan yang lama dan panjang, dan terkadang menjenuhkan. Aku sudah berpikir.Ya, aku berhenti. Tetapi Tuhan sepertinya tak ingin mencabut "kutukan" itu. Aku dipertemukan dengan sebuah kelompok teater justru di saat aku sedang tidak ingin berkelompok. Selesai kerjasama, pentas, selesai. Begitu tekadku setelah layar pementasan "Kereta Kencana" bersama Teater Keset diturunkan. Tapi entahlah, ada rindu yang menyergap, yang berdenting-denting saat beberapa bulan terlewati. Ah aku mungkin rindu menyanyikan lagu-lagu Iwan Fals atau Dewa atau dangdutan sebelum dan setelah latihan. Atau obrolan pengusir penat seusai bekerja dan urusan PKK kami. Tapi itulah, aku rindu kebersamaan yang pelan-pelan telah menggerogoti batok kepalaku untuk tak bisa sendiri. Kedua kalinya di produksi ke XI, aku "dipaksa" menjadi bagian dari sebuah kelompok berkesenian. Tetapi tak bisa kubohongi, bahwa ini bukan sekedar kelompok teater, tapi lebih pada sebuah keluarga. Keluarga adalah tempat dimana kita nyaman menjadi diri sendiri dan tak takut untuk direndahkan, dikritik, dicela, bahkan dihina sekalipun. Dan aku mendapatkan itu di Keset. Inlah rumah keduaku. Terlibat untuk yang kedua di penggarapan naskah TUK, aku semakin yakin bahwa "kutukan" itu mungkin tak kan pernah beranjak dariku. Aku menikmati peranku sebagai Mbah Kawit, sosok tua idealis yang tergerus oleh keserakahan. Inilah potret masyarakat pinggiran, dimana uang dan kekuasaan adalah pemilik segalanya. "Arep mbok gadekke opo uripmu, lali kowe marang mbah-mbahmu, lali kowe karo tanggung jawabmu marang anak putumu besok, lali opo kowe?!" Itu salah satu dialog tokoh mbah Kawit yang menancap erat di reluing hatiku, menari-nari menemani di hampir setiap bangun tidurku. Aku, Keset dan TUK telah berada pada satu ikatan yang berperekat. Dan entah aku tak tahu terbuat dari apakah sang perekat itu. Yang jelas, Sabtu, 6 Desember 2014, selama dua kali pertunjukan, jam 15.30 dan jam 19.30, kami hanya ingin membuktikan, bahwa perekat tanpa nama itu ada.
Share this article :
 

linkwithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. DUDU DEWO - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger