" Sebuah budaya, membumi dan sederhana "

Budaya suatu daerah, tumbuh dan berkembang atas inisiatif warganya sendiri. Meskipun untuk mengawalinya, tak jarang pihak luar daerah memberikan sebuah motivasi rangsang. Ia ( budaya_red ), menjadi sebuah ikonik tersendiri sebagai akibat dari pola hidup masyarakat yang dilandasi oleh pola pikir, pola tingkah dan pola rasa, yang tidak bisa ( tentunya ) dipaksakan. Bahkan, laku budaya tersebut tidak bisa ditukar dengan suatu apapun. Ia tumbuh dan berkembang dengan sendirinya, dan bersemayam pada setiap diri, baik pelaku ( pada khususnya ) dan masyarakat ( pada umumnya ). Ia akan menjadi bagian hidup masyarakat tersebut. Bahkan, beberapa tahun di masa depan, ia tetap hidup dalam sebuah kisah masa lalu daerah tersebut.
Seperti di kampungku ( mungkin juga kampung - kampung yang lain ), pada masa - masa tertentu, ada sebuah budaya yang bersifat musiman. Artinya, hanya pada waktu tertentu saja ia akan dilakukan.dan jika waktu itu telah lewat, maka ia akan dengan sendirinya tersimpan rapi di perilaku keseharian mereka.
Ya, salah satu contoh adalah di saat bulan puasa seperti bulan ini, banyak buah laku budaya akan muncul. Seperti tongtek, darusan, maleman, dsb. Dan di kampungku, pada masa - masa seperti ini ( bulan puasa ), ada sekelompok anak muda yang melakukan rutinitas keliling kampung menjelang sahur ( sama seperti kampung - kampung yang lain, mungkin ). Akan tetapi, ada sesuatu yang ku amati dari kegiatan tersebut, yang membuatnya berbeda dari kegiatan sejenis diberbagai kampung. Adalah media musik yang mereka usung.
Di kampungku, jika ingin mendapatkan suasana berbeda dari kebanyakan kampung lainya disaat menjelang sahur, maka datanglah disekitar jam 02 nan. Dengar dan perhatikan. Mendekati diantara waktu tersebut, lamat - lamat kalian akan mendengarkan alunan musik khas salah satu budaya dikota Kudus tercinta. Yaitu Barongan kudus. Ya, lamat - lamat akan terdengar alunan musik barongan yang ditabuh oleh sekitar 10 pemuda, lengkap. Mulai dari kenong, gong, suling, dan kendang ( alat musik yang terakhir tidak selalu ada ). Dan mereka melakukannya berkeliling kampung, bukan hanya sebagian. Seperti saat catatan ini kubuat, mereka baru saja berlalu, dan sekarang masih menyisakan alunan lirih disela suara orang - orang mengaji. Ketika melewati tempatku duduk, salah satu dari mereka yang melihatku tampak melambaikan tangannya sambil terus memukul alat musik kenong. Dan harap diketahui, apa yang mereka lakukan adalah sebuah kesadaran yang muncul karena kebiasaan. Entahlah, bagaimana perilaku tanpa pamrih mereka itu dimulai. Yang pasti, hal ini sudah dilakukan beberapa tahun yang lalu.
Ya, disaat bulan ramadhon, salah satu hal yang ku tunggu adalah alunan musik barong kudus menjelang sahur. Mereka, melakukan hal yang sederhana, niat yang sederhana, media yang sederhana, dan tanpa mengharap pamrih. Itulah, sebuah kampung dan perkembangan budayanya, sederhana tapi tetap menjaga kearifan lokal.
Bagaimana dengan kampungmu?

Kudus, 17 Juli 2014 menjelang makan sahur

oleh : Wisnu DeDe
Share this article :
 

linkwithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. DUDU DEWO - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger