( Mungkin ) mencari Ruci

Hujan pagi ini, sama dengan hujan - hujan kala lalu. Tetap menyisakan dingin. Meski tetes airnya sedikit mulai sulit aku baca. Entah. Mungkin ia pergi bersama angin, menjelajah dunia antah. Dan aku melihat sepasang kupu - kupu kuning terbang berkeliling. Mereka sengaja tak hinggap semenjak kemarin, sebelum hujan turun.
Sekedar memberi warna, kata mereka.
Bukankah kuning juga keindahan.
Lantas, kenapa harus disingkirkan?
Sepasang kupu - kupu kuning tetap bersahaja, kepakkan kedua sayap kemilau cahaya itu. Hujan sementara enggan menyelinap diantara kepak sayap mereka. Ia menghormat memberi jalan kedua kupu - kupu. Hujan tersenyum.  
Silakan! Kupu - kupu mengangguk takzim.  
Terimakasih! Mereka merendah ke arah batu - batu.
Batu - batu lalu berjajar membentuk lingkaran. 
Ah, ada apa ini? Batu - batu melangkah, berputar mengitar Sang kupu - kupu. Berirama. Sesekali bersentuhan sesama batu. Mereka tersenyum.
Inilah harmoni. Dengarkanlah!
Lamat - lamat, aku mendengar gumaman. Lirih, seolah bertasbih. Aku mencoba mengasah pendengaranku. Kutajamkan setajam - tajamnya. Ah, tetap sebuah gumaman. Aku mencoba tengkurap. Merapatkan seluruh tubuhku serata tanah. Mungkin malah lebih rata lagi. Ah, tetap saja gumaman. Aku mencoba beringsut. Semakin dekat. Ah, mereka melihatku. Batu - batu itu menatapku. Semoga mereka tak marah. Kupu - kupu kuning itu, juga menatapku. Dan segera aku bersembunyi dibalik bayanganku. Hitam. Semoga mereka tak melihatku. Aku menari, ketika mereka kembali bergumam didalam lingkaran. Aku bernyanyi, menari, berdansa, bersukacita, menggelar perayaan - perayaan, tontonan - tontonan, bahkan upacara - upacara keagamaan, dibalik bayangan, hitam. Bahkan aku juga mulai merias bayanganku, menyerupa diraja, permaisuri, putri - putri, dan aku lukis juga kemaluan diselangkangan bayanganku. Aku berharap ia beranak pinak. Sejenak aku melupa batu - batu dan kupu - kupu. Hanya sesekali mengalihkan pandangan ke arah mereka. Rupanya mereka tetap menggumam. Ah, persetan dengan mereka. Aku kembali disarang bayang yang menjadi semakin banyak. Mereka semakin berwarna - warni. Bahkan mereka mulai bertingkah layaknya para kurawa yang nggegirisi itu. Menghasut dan menindas. Ada juga yang memperkosa. Bahkan membunuh. Aku mulai cemas. Was - was. Apakah aku akan mengikuti polah tingkah mereka, yang dulu aku ciptakan? Mereka terlihat semakin kuat. Bahkan mempengaruhi semua teman - temanku. Melakukan propaganda berlabelkan agama, keagamaan, hak asasi, dan apa saja. Mereka menjadi Duryudana - Duryudana yang semakin kuat melanggengkan tahta. Mereka menjelma menjadi Habaya, Durkarana dan Citraga yang mengasah kelaminnya di selangkangan binatang - binatang peraga. Mereka juga berdandan layaknya sindikat Ugrasrawa yang bersenjatakan kapak merah lalu merakit sendiri senjata - senjata api. Ada juga yang merayu Agrayayin untuk bersedia menjadi dirinya. Sungguh perkasa. Aku bergidik. 
Inikah bayangan hitam ku yang dulu? Bukankah ia dulunya selalu mengikutiku kemana aku pergi. Apakah aku, harus menjadi budak para bayang - bayang hitam? 
Diam. Ya, aku terdiam. Aku bergumam. Tapi latah. Aku gelisah. Kemana batu - batu juga kupu - kupu?
Aku mencarinya. Kemana? Ya kemana saja aku bisa menemukan mereka. Dan aku tersudut dalam kemelut yang kucipta, dulu. Bertanya pada Sang Kumbayana yang menyaru menjadi Durna di Sokalima. Aku gagu.
Batu - batu!
Kupu - kupu!
Mengering!
Menguning!
Batu mengering, kupu menguning, aku semakin terasing. Batu - batu berjajar berputar, mengeliling kupu - kupu kuning. Ada sajadah merah, menggusah gelisah. Aku berfatamorgana, adakah sajadah merah itu hanya untukku? Turut bergumam, mengeliling hingga mengering. Lalu menjadi cahaya, batu juga kupu.

( Semoga bersambung )
Share this article :
 

linkwithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. DUDU DEWO - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger